Selasa 29 Oct 2019 07:15 WIB

Pro Kontra Pemekaran Papua, Urgenkah? (2)

Pemekaran Papua hanya didasari alasan politis, ingin kuasai wilayah dan politik.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Elba Damhuri
Presiden Joko Widodo (tengah) mengunjungi lapangan bola Irai di Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, Ahad, (27/10/2019).
Foto: Antara/Setpres-Kris
Presiden Joko Widodo (tengah) mengunjungi lapangan bola Irai di Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, Ahad, (27/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,

Cahyo Pamungkas, Peneliti Tim Kajian Papua LIPI

Pemekaran Bukan Strategi yang Tepat

Bagaimana pandangan Anda soal rencana pemekaran Papua yang disampaikan pemerintah?

Pemekaran itu secara yuridis sebetulnya harus mendapat persetujuan Majelis Rakyat Papua. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Otsus Papua Pasal 76 kalau tidak salah. Jadi, ide pemekaran seharusnya tidak diserahkan ke presiden, tapi didiskusikan di DPR Papua dan Papua Barat, lalu dimintakan kesediaan MRP. Semangat UU Otsus, pemekaran harus melalui pertimbangan pihak-pihak di Papua.

Apakah pemekaran ini bisa jadi solusi persoalan-persoalan di Papua?

Pemekaran itu bukan satu-satunya solusi di Papua. Karena, kita lihat empat akar di Papua masalah marginalisasi dan pelanggaran HAM, status politik, dan masalah pembangunan yang tidak merata dan tidak menguntungkan masyarakat Papua. Pemekaran itu bukan strategi yang tepat menurut saya.

Mengapa bukan strategi yang tepat?

Pertama, pemekaran selalu menguntungkan elite politik. Lebih banyak dijadikan alat merebut sumber daya yang terbatas di Papua, terutama dari APBN/APBD. Pemekaran secara historis juga merupakan strategi pusat untuk memecah belah Papua agar mereka tak memiliki identitas tunggal. Jadi, semacam devide et impera.

Kemudian, sebelum pemekaran biasanya sumber daya manusianya tak disiapkan. Jadi, nantinya akan didatangkan dari luar. Keempat, yang dibutuhkan masyarakat Papua itu bukan pemekaran, melainkan peningkatan akses publik. Misalnya dengan mengoptimalkan pemerintah daerah. Walaupun dimekarkan, tujuh provinsi kalau sumber dayanya tak disiapkan sama saja.

Bagaimana dengan pihak-pihak dari Papua yang meminta pemekaran?

Jadi, menurut saya, mereka mewakili diri sendiri, tidak mewakili aspirasi mainstream di Papua. Pemekaran ini biasanya memang selalu didorong elite di Papua yang dikalahkan. Misalnya, ada yang yang kalah dalam pilkada kemudian memperjuangkan pemekaran. Ini suatu hal yang kurang sehat.

Kita tidak bisa memungkiri ada aspirasi pemekaran dari tingkat kampung dan provinsi. Tapi, hanya didasari alasan politik. Motivasinya itu ingin menguasai wilayah dan politik. Bukan didasari pelayanan publik yang baik. Jadi, memang aspirasi elite lokal, bukan arus utama. Arus utamanya dialog, penyelesaian HAM, pemerataan pembangunan, dan sebagainya.

Apa dampak dari pemekaran di Papua menurut Anda?

Pemekaran ini akan memperkuat etnisitas dan primordialisme dan justru tidak mendidik orang Papua, hanya memperkuat kesukuan. Orang Tabi hanya di Jayapura, Lapago hanya di gunung, Ha Anim hanya di Merauke. Yang harus dilakukan justru meningkatkan interaksi sosial di Papua dan mengautkan demokrasi, misal dengan menggeser sistem noken.

Jadi, apa yang semestinya dilakukan pusat?

Pemerintah daerah yang sudah ada harus dibenahi daripada membentuk pemerintahan baru. Mereka (pemerintah daerah) yang dianggap tidak efektif itu karena banyak hal. Persoalan pertama itu kapasitas pemerintah yang harus di-update dan didampingi. Ini bukan hanya tugas pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat harus melakukan pendampingan.

Kemudian, kekhususan otonomi khusus tidak jelas. Jadi, hampir semua tata kelola hanya merujuk pada UU yang bersifat sektoral. Kita tak bisa menyalahkan pemerintah daerah karena mereka tak punya kewenangan yang nyata karena tidak semua pasal di otsus diimplementasikan. Pada masa Jokowi, harus dibenahi komunikasi pusat, Jayapura, dan di bawahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement