REPUBLIKA.CO.ID, oleh Erik Purnama Putra*
Jauh dari orang tua membuat Teuku Akbar Maulana (20 tahun) minim pengawasan. Memang Akbar sehari-hari tinggal di asrama di Kota Kayseri, Turki. Namun, karena ada sekitar 600-an siswa dari berbagai negara, termasuk Turki dan sebanyak 20 siswa asal Indonesia, membuat pengawasan yang dilakukan petugas yang mengurus asrama menjadi tidak terlalu ketat.
Sebagai siswa cerdas yang lihai berbahasa Arab dan hapal Alquran, Akbar mendapat beasiswa untuk menempuh jenjang setingkat sekolah menengah atas (SMA) di International Anatolian Mustafa Germirli Imam Khatip High School (2013-2017).
Sekolah Akbar cukup prestisius lantaran melahirkan salah satu alumnus yang terkenal, yaitu Presiden Turki Recep Thayyip Erdogan. Sebagai siswa asal Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh, Akbar memang harus berpisah dengan kedua orang tuanya demi mendapatkan pendidikan terbaik dari Pemerintah Turki.
Akbar mengatakan, berbeda dengan konsep pondok pesantren (ponpes), di asrama mahasiswa yang berstatus internasional itu penghuninya dibebaskan memiliki dan menggunakan handphone. Dengan catatan, mereka tidak melanggar aturan asrama dan aktivitasnya tak mengganggu siswa lainnya. Hal itu berbeda jika memasuki jam sekolah maka siswa dikenakan aturan ketat untuk mengikuti tata tertib yang diberlakukan pihak sekolah, termasuk juga dilarang membawa ponsel.
Lambat laun, kebebasan yang dinikmati Akbar itu ternyata malah membawanya berkenalan dengan jaringan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) yang sedang kuat-kuatnya bertempur di Suriah dan Irak. Dia mengaku, setiap harinya terus membuka aplikasi Skype, WhatsApp, atau Yahoo Messenger, yang lebih sering menggunakan ponsel untuk berkomunikasi dengan seseorang di seberang. Tidak main-main, orang yang dikenal Akbar secara daring (online) adalah anggota ISIS yang bertugas merekrut anak-anak muda untuk bergabung dalam jihad yang berlangsung di Suriah.
Sebagai siswa remaja yang masih mencari jati diri, Akbar merasa kerap penasaran ketika mengobrol dengan orang yang setiap harinya berkomunikasi dengannya secara daring itu. "Saya bisa bebas berkomunikasi karena di asrama itu tidak ada pengawasan yang ketat. Kami bisa bebas memakai ponsel atau komputer," ujar Akbar mengisahkan jalinan pertautannya dengan ISIS pada medio 2014 kepada Republika, belum lama ini.
Uniknya, kata dia, orang yang berkomunikasi dengannya itu hanya akan membalas atau merespons kalau yang mengirimkan pesan itu ia sendiri. Akbar pernah mencoba berkirim pesan menggunakan nomor lain, namun orang itu tidak merespon sama sekali dan hanya membaca pesan yang dikirimnya itu.
Anggota ISIS yang menjalin komunikasi itu seolah memiliki kode tertentu yang bisa memastikan bahwa orang yang diajak komunikasi adalah Akbar, bukan orang lain. Dari situ, Akbar berkesimpulan, orang yang mengenal sosok milisi ISIS asal Indonesia, yaitu Aman Abdurrahman, itu hanya fokus kepada targetnya saja dan tidak sembarangan orang bisa menjalin kontak dengannya.
Gerakan ISIS
Akbar menuturkan, ketika kerap berhubungan secara daring dengan orang yang belum pernah ditemuinya tersebut, ia selalu dikirimi hadis berisi ajakan perang untuk membela agama Islam. Akibat terus didoktrin dengan ajakan untuk berjihad dan dicecoki perjuangan milisi ISIS yang ingin mendirikan sebuah negara Islam, Akbar lama-lama bersimpati dan tertarik untuk bergabung dengan pasukan ISIS.
Akbar mengatakan, sebagai anak muda yang sedang mencari jati diri, ia semakin tertantang ketika bisa berselancar di dunia maya mendapati video pasukan ISIS yang menenteng senjata api dan bertempur untuk memperebutkan suatu wilayah. Dalam suatu waktu, ia sampai pada kesimpulan terkagum-kagum saat mendapati teman seasrama di Kayseri, Yazid mengunggah foto berpose memegang AK-47. Akbar pun akhirnya memahami, kalau Yazid yang merupakan kakak kelasnya di SMA dan belakangan diketahui tidak aktif sekolah, ternyata sudah berada di Suriah untuk ikut berperang.
Akbar mengaku, niatan bergabung dengan ISIS itu lantaran selama ini merasa jenuh dengan aktivitas sekolah yang dijalaninya. Apalagi, pelajaran yang diajarkan di sekolah sebagian ada yang sudah dipelajarinya di sekolah menengah pertama (SMP) Islam YPUI Darul Ulum Jambo Tape, Kota Banda Aceh (2010–2013), yang juga menjadi tempat nyantri. Sebagai pelariannya, Akbar setiap hari membuka Facebook dan akun media sosial (medsos), dan mendapati beragam informasi tentang pasukan ISIS yang sedang berperang.
Lama-lama, karena terus terpapar informasi tersebut, ia terpicu untuk untuk tertarik bergabung memanggul senjata. Hingga pada medio 2014, ia mencapai kesepakatan dengan anggota ISIS yang mengontaknya itu, dan meminta dijemput di suatu lokasi yang sudah disepakati di Kayseri, untuk menyeberang ke Suriah.
"Saya pas waktu mau berangkat menyeberang itu masih ragu, karena ada dua pilihan, balik ke Aceh atau ke Suriah, karena juga sudah memegang tiket pulang kampung karena sekolah memasuki liburan. Tapi, keraguan saya kalau menyeberang, karena belum mendapat izin orang tua," kata mahasiswa semester dua Jurusan Hubungan Internasional Erciyes University, Kota Kayseri, yang berstatus cuti dan sementara ini merintis pendirian ponpes di kampung halamannya ini.
Mendekati hari keberangkatan, perasaannya semakin bimbang. Akbar kembali berkomunikasi dengan anggota ISIS itu tentang niatannya yang belum mantap untuk bergabung dengan ISIS. Namun, oleh orang itu, Akbar kembali dikirimi ayat yang berisi ajakan jihad tidak perlu mendapatkan izin orang tua. Pun ia juga diberi pilihan hidup mulia atau mati syahid, yang bisa didapatkan Akbar kalau bergabung dengan ISIS di Suriah.
Mendapat pesan seperti itu, ia pun kembali yakin untuk meninggalkan Turki. Namun, tidak lama kemudian, hati kecilnya malah mempertanyakan motivasinya yang ingin meninggalkan sekolah untuk pergi ke negara yang tidak dikenalinya itu.
Pergulatan pikiran terus dialami Akbar, lantaran ia bisa mengidentifikasi bahwa hadis atau ayat yang dikirimkan anggota ISIS itu kepadanya ada yang tidak tepat. Bahkan, pesan yang disampaikannya kadang bermuatan propaganda dan mengandung hal yang dilebih-lebihkan, seperti berperang demi membela agama, yang dianggapnya sebagai hal yang patut diuji kebenarannya.
Karena itu, kadang Akbar pun merasa perlu memfilter informasi yang diterimanya dengan menyandingkannya dengan pelajaran agama yang selama ini didapatkannya ketika mengaji di rumah dan sekolah selama berada di Tanah Air.
"Karena pas SMP di Aceh saya juga pernah di pesantren jadi tahu hadis semuanya harus mendapat izin orang tua. Dari situ saya jadi ragu juga dengan doktrin ISIS yang mengajak berjihad tidak usah izin orang tua. Saya telepon guru, dan diingatkan tentang ridha Allah tergantung ridha orang tua. Di situ saya berlinang air mata," kata Akbar.
Namun, karena intensitas berhubungan dengan jaringan ISIS lebih sering dilakukan Akbar dibandingkan dengan keluarganya di Aceh, kondisi itu membuatnya tetap bertekad untuk pergi ke Suriah. Pada hari keberangkatan, kegalauan Akbar semakin menjadi-jadi. Dia sudah memiliki tiket untuk menyeberang ke Suriah dengan naik bus sekitar lima sampai enam jam. Dengan menggunakan jasa agen bus yang sudah terkoneksi dengan milisi ISIS, Akbar rencananya dijemput di suatu lokasi ketika sudah masuk wilayah Suriah.
Bertemu Noor Huda
Lalu, momen tidak disangka-sangka terjadi. Ketika sedang duduk-duduk di suatu taman di Kayseri medio 2014, Akbar bertemu dengan orang yang berwajah khas Asia Tenggara. Dia pun berani menyimpulkan kalau orang itu beretnis Melayu, setelah saling memandang satu sama lain.
Benar dugaan Akbar, orang yang disapanya itu ternyata orang Jakarta bernama Noor Huda Ismail yang baru menghadiri sebuah agenda di Istanbul, dan akan melanjutkan perjalanan ke Coppacadia, untuk berwisata melihat balon udara yang terkenal itu.
Ketika memperkenalkan diri sebagai siswa asal Aceh, Akbar dan Huda langsung cepat akrab. Tahu yang diajak berkenalan adalah siswa, pengamat terorisme tersebut mengajak Akbar makan di sebuah kedai kebab. Akbar pun ditraktir menu lengkap, yang membuat nafsu makannya meningkat. Dalam perbincangan itu, menurut Akbar, Huda kaget ketika ia mengungkapkan niatan untuk menyeberang ke Suriah bergabung dengan pasukan ISIS.
Huda lebih kaget lagi lantaran Akbar menceritakan perkenalannya dengan ISIS berawal dari internet. Meski tidak pernah bertatap muka dengan jaringan ISIS yang bertugas merekrut anak muda untuk ikut jihad, sambung dia, namun komunikasi yang terus terjalin membuatnya bisa tertarik untuk bergabung ke Suriah.
Hal itu juga didasari karena temannya Yazid Ulwan, berhasil menggaet Wijangga Bagus Panulat, yang merupakan mahasiswa di sebuah kampus di Kayseri, untuk gabung ISIS. Sementara satu remaja Indonesia lainnya, Wildan malah tewas lantaran terlibat bom bunuh diri di Irak.
"Saat saya ceritakan ingin ke Suriah, kaget dia. Di situlah saya dijelaskan tentang hegemoni politik ISIS yang membawa agama untuk merekrut anak muda berperang demi kepentingan mereka. Saya pun dinasihati untuk mengingat orang tua. Batin saya langsung menolak untuk berangkat ke Suriah," ucap Akbar.
Setelah berdiskusi singkat dengan Huda, Akbar mengatakan, terjadi pergulatan batin yang kembali dialaminya. Namun, setelah merenung dan berpikir kritis, ia pun sampai pada sebuah keputusan untuk memilih kembali ke Indonesia. Niatan pergi Suriah pun dibuang jauh-jauh dari ingatannya. Akbar akhirnya tidak mengikuti jalan yang sudah dipilih Yazid dan Bagus itu.
Berselang dua tahun, Akbar dan Huda malah berkolaborasi membuat film "Jihad Selfie" yang mengisahkan tentang bagaimana ISIS memanfaatkan internet untuk menjadi sarana merekrut anak muda agar mau berperang demi berdirinya sebuah negara Islam.
Baik Akbar dan Huda pun menjadikan film tersebut sebagai alat edukasi untuk mengingatkan anak muda agar tidak terjerumus terhadap propaganda yang disebarkan pengikut ISIS. Akbar pun berpesan agar anak muda maupun masyarakat yang sedang mencari jati diri agar tidak mudah tergiur dengan ajakan berjihad, yang malah bertentangan dengan ajaran Islam yang lemah lembut.
Huda menambahkan, selama ini ISIS memaksimalkan media sosial (medsos) sebagai alat utama propaganda ideologinya untuk merekrut anggota baru dari seluruh dunia. Penyebaran informasi yang menyesatkan menjadi pemicu banyaknya warga negara Indonesia (WNI), termasuk Akbar mudah terpukau dan tertarik ikut ajaran ISIS. Berdasarkan pengalaman itulah, Huda ingin mengedukasi masyarakat untuk hati-hati terhadap propaganda terorisme dan radikalisme, salah satunya dengan menyebarkan film "Jihad Selfie".
“Kerja-kerja kreatif harus terus dilakukan,” kata Huda menjelaskan kontribusinya membuat film dokumenter, novel, hingga membuka warung Dapoer Bistik Solo, yang dikelola mantan napi terorisme (napiter) guna mengatasi persoalan terorisme yang tak kunjung berhenti. Dia mengaku, banyak cara yang dilakukan untuk terus berusaha memahami sedetail mungkin mengapa terorisme terus berkembang.
Selain itu, Huda juga membuat laman khusus www.ruangobrol.id guna memberi wadah bagi eks napiter untuk berbagi pengalaman dan pemangku kepentingan untuk memiliki pendekatan berbeda dalam menangani aksi terorisme, tidak melulu dengan kekerasan. Huda ingin terlibat langsung, tidak hanya mengamati faktor pemicu terorisme agar bisa memberi solusi di masyarakat. Dengan begitu, kasus Akbar yang ingin bergabung dengan ISIS bisa dicegah dan tak diikuti anak muda lainnya..
Di tempat berbeda, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Suhardi Alius mengatakan, saat ini pelaku terorisme terjadi bukan semata-mata karena dorongan faktor ekonomi saja. Menurut dia, orang yang tertarik bergabung dengan ISIS karena masalah mindset dan ideologi sehingga perlu penanganan serius yang tidak bertumpu pada pendekatan represif. BNPT yang selama ini bekerja dalam ruang lingkup pencegahan, sambung dia, menyadari penindakan dengan kekerasan harus dibatasi karena akan membangkitkan rasa kebencian maupun dendam yang baru.
Suhardi berharap, ke depannya akan terwujud upaya sistematis penanganan terorisme yang melibatkan lintas sektor melalui program sentuhan kemanusiaan dalam proses deradikalisasi. Hal itu tidak hanya menyasar pelaku terorisme, melainkan juga keluarga kombatan. Dia menyadari, bakal banyak hambatan yang muncul, namun langkah itu dirasa pas karena melakukan pendekatan berbeda dalam menangani pelaku terorisme.
“Ini konsep dan sistem yang perlu kita bangun. Di satu sisi kita siapkan masyarakat untuk menjadi resilience, menguatkan daya tahan terhadap perkembangan dinamika yang luar biasa ini. Namun di sisi lain, yang sudah terpapar kita netralkan," ucap Suhardi.