Jumat 25 Oct 2019 17:21 WIB

Yogyakarta Hasilkan Empat Ton Limbah Medis Sehari

Banyak ditemukan limbah medis yang dibuang di sembarang tempat.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ani Nursalikah
Limbah medis
Foto: EPA
Limbah medis

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Inisiator Komunitas Limbah Medis dan B3 dari Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Sarto memperkirakan limbah medis dan B3 dari RS dan puskesmas di Yogyakarta (DIY) mencapai empat ton sehari. Namun, pengelolaan limbah tersebut masih melibatkan pihak ketiga yang tidak rutin melaksanakan tugas.

"Limbah medis dan B3 yang berasal dari RS dan puskesmas di DIY diperkirakan mencapai empat ton sehari. Bahkan, untuk RS Sardjito dalam sehari bisa menghasilkan limbah medis mencapai 700 kilogram," kata Sarto, Jumat (25/10).

Baca Juga

Hal itu disampaikan usai pembentukan Komunitas Limbah Medis dan B3 di DIY yang berlangsung di UC UGM. Komunitas ini akan mendorong Pemda DIY mengurusi persoalan sampah medis secara mandiri.

Sebab, jika dibiarkan, banyak puskesmas dan RS terancam hukum karena keterlambatan membuang limbah. Untuk mengantisipasi, UGM dan Kemenkes menginisiasi pembentukan komunitas limbah medis dan B3. Lewat pembentukan ini diharapkan pengelolaan medis bisa cepat dan efisien dengan dikelola Pemda DIY sendiri, tidak harus melalui pihak ketiga.

Sarto menilai, ketidakrutinan pihak ketiga banyak membuat limbah menumpuk di faskes dan membuatnya melanggar aturan. Ada pula yang berurusan dengan penegak hukum, dan kondisi itu tentu tidak diinginkan.

Ia melihat, selama ini lokasi pembuangan limbah ada di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Namun, melalui komunitas ini, DIY didorong menciptakan sendiri pengelolaan lombah medis berbasis wilayah.

Apalagi, tidak cuma soal keterlambatan. Pengambilan limbah oleh pihak ketiga dirasa dikenakan biaya yang cukup memberatkan puskesmas dan RS karena satu kilogramnya berkisar Rp 15-25 ribu.

"Selain ongkosnya mahal, kita khawatir juga tidak aman," ujar Sarto.

Menurut Sarto, bila sampah medis ini tidak dikelola dan dimusnahkan sesuai aturan bisa berdampak buruk. Utamanya, penularan penyakit infeksius yang bersumber dari limbah-limbah itu sendiri.

Ia mengingatkan, Pemda DIY harus ikut mengusulkan pengelolaan limbah medis secara mandiri. Salah satunya dengan menyediakan tempat untuk pengelolaan limbah yang rencananya berlokasi di sekitar TPA Piyungan.

Kaprodi S2 Kesehatan Masyarakat FK UGM Mubasyir Hasan Basri menuturkan, saat ini pengelolaan limbah medis jadi wewenang KLHK. Tapi, praktik lapangan, perusahaan yang ditunjuk kerap lalai.

Mubasyir menjelaskan, di Indonesia sendiri sampai saat ini hanya ada 10 TPA untuk limbah medis. Namun, ia menyayangkan, semua pengelolaan masih melibatkan pihak ketiga.

Ia melihat, banyak ditemukan limbah medis yang dibuang di sembarang tempat. Padahal, risikonya tertular penyakit infeksi bagi para pemulung atau petugas-petugas sampah.

"Kita ingin masing-masing daerah bisa mengelola sendiri, bayangkan di DIY saja biaya yang dibayar ke pihak ketiga ini mencapai Rp 22 miliar setiap tahun," kata Mubasyir.

Pembangunan pengelolaan sampah medis ini sudah diusulkan ke Gubernur DIY untuk segera dibangun. Tentu, dengan meminta izin ke pemerintah pusat agar pengelolaan limbah ini dilakukan secara mandiri.

Mubasyir menekankan, semua harus mengawal sistem yang dibuat dengan melibatkan partisipasi dari pemangku kebijakan. Selain itu, komunitas harus menumbuhkan kesadaran pengelolaann dan pendaurulangan mandiri.

"Lewat komunitas ini kita ingin memberi kesadaran mengelola secara mandiri sampah dan limbah yang bisa didaur ulang. Jika nantinya ada di DIY prosesnya lebih sederhana," ujar Mubasyir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement