REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi menangkap enam orang yang merencanakan aksi untuk menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober lalu. Selain menyiapkan aksi peledakan di gedung DPR RI menggunakan bom 'peluru ketapel', para tersangka juga berencana menggunakan monyet untuk melancarkan aksinya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono mengatakan, kelompok itu telah menyiapkan delapan ekor monyet. Argo menyebut, nantinya monyet-monyet itu akan dilepas di dalam gedung DPR RI dan Istana Negara.
"Ada juga ide dari kelompok ini (kelompok 'peluru ketapel'), yaitu melepas monyet di gedung DPR RI. Sudah disiapkan delapan ekor (monyet), sudah dibeli, tapi belum sempat dilepas," kata Argo dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Senin (21/10).
Argo menjelaskan, pelepasan monyet itu bertujuan untuk membuat kegaduhan dalam acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Sementara itu, koordinasi perencanaan aksi dilakukan dalam sebuah grup WhatsApp bernama F.
"Monyet akan dilepaskan di gedung DPR RI dan Istana Negara biar gaduh," ungkap Argo.
Sebelumnya diberitakan, polisi menangkap enam tersangka terkait perencanaan bom menggunakan 'peluru ketapel' tersebut, masing-masing berinisial SH, E, FAB, RH, HRS, dan PSM. Keenam tersangka itu tergabung dalam sebuah grup WhatsApp bernama F yang beranggotakan 123 orang.
Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 169 ayat 1 KUHP dan atau Pasal 187 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Undang-Undang Darurat. Dengan ancaman hukuman lima sampai dua puluh tahun penjara.
Polisi menyebut, kelompok tersebut masih berkaitan dengan aksi penggagalan pelantikan yang direncanakan oleh dosen nonaktif Institut Pertanian Bogor (IPB) Abdul Basith.
Adapun, Abdul Basith juga terlibat dalam peledakan menggunakan bom molotov saat aksi unjuk rasa berakhir ricuh di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat, 24 September 2019 serta rencana peledakan bom rakitan saat aksi unjuk rasa Mujahid 212 pada 28 September 2019.