Selasa 22 Oct 2019 08:36 WIB

Kontras Sayangkan Hukuman Mati Masih Berlaku pada Era Jokowi

"Tidak ada kemajuan dalam upaya penghapusan (hukuman) mati," kata Yati Andriani.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyanni.
Foto: Republika/ Wihdan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyanni.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merasa prihatin dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masih mendukung hukuman mati bagi narapidana. Padahal, ada aturan internasional dalam menyikapi hukuman mati.

Koordinator Kontras, Yati Andriyani memandang pentingnya pemerintah dalam menerapkan risalah Universal Periodic Review (UPR). Tujuannya demi mewujudkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca Juga

Di antara komitmen internasional pemerintah terkait HAM sebagaimana tercantum dalam risalah UPR dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi ialah penghapusan hukuman mati, jaminan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat, perlindungan Human Rights Defender (HRD) dan jurnalis.

"Tidak ada kemajuan signifikan dalam upaya penghapusan (hukuman) mati di Indonesia selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla," kata Yati dalam laporan yang dirilis resmi pada Senin (21/10).

"Selain masih diterapkannya hukuman mati dalam bentuk tuntutan oleh Jaksa di pengadilan, draf Revisi KUHP yang seharusnya menjadi milestone reformasi hukum di Indonesia juga masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu pidana yang dapat dijatuhkan," tuturnya.

Kontras memandang hal ini tetap tidak sejalan dengan ketentuan ICCPR bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. Kontras juga menyayangkan tidak disebutkannya HAM dalam pidato kenegaraan Presiden pada pelantikannya (20/10).

"Isu HAM tetap merupakan isu yang sentral dan harus menjadi fokus utama pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya 5 tahun ke depan. Pekerjaan rumah yang dijabarkan dalam laporan ini penting untuk dijadikan acuan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya demi adanya pengakuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang merupakan salah satu ciri utama negara yang demokratis," jelasnya.

Di sisi lain, Kontras menyoroti sektor perlindungan HRD yang belum maksimal. Terbukti dari Robertus Robet, Porro duka, Golfrid Siregar yang mendapatkan ancaman, intimidasi, bahkan hilangnya nyawa sebagai pembela HAM.

"Belum lagi 114 peristiwa kriminalisasi HRD di isu SDA dan lingkungan selama 5 tahun terakhir. Kerentanan HRD dalam menjalankan tugasnya belum mendapat perlindungan utuh dari pemerintah," ucapnya.

Kontras menyarankan ada peraturan khusus mengenai perlindungan HRD sekaligus penuntasan kasus-kasus kekerasan dan ancaman kekerasan kepada HRD. Rizky Suryarandi

Dalam Nawacita, Kontras juga menyoroti beberapa janji politik seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, penghapusan impunitas dan revisi UU Peradilan Militer. "Pada sektor penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, Pemerintahan Joko Widodo telah gagal untuk mengambil langkah dalam mengungkap kebenaran peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Yati.

Kegagalan Pemerintahan Joko Widodo jilid I juga berlaku dalam menginisiasi akuntabilias hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, memberikan reparasi kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Aspek menjalankan reformasi sektor keamanan sebagai bagian dari proses penuntasan yang berkeadilan pun gagal dilalukan.

"Sebaliknya, pemerintahan Joko Widodo justru kerap mengajukan wacana rekonsiliasi yang kami nilai tidak berpihak pada korban dan melanggengkan impunitas," ujar Yati.

Dalam agenda penghapusan impunitas dan revisi UU Peradilan Militer, Kontras tidak terlihat adanya upaya dari pemerintah untuk menuntaskan reformasi peradilan militer. Sementara UU Peradilan Militer tidak kunjung direvisi, buruknya sistem peradilan militer terus berdampak pada hilangnya pencapaian keadilan bagi korban secara khusus dan masyarakat pada umumnya.

"Kami menemukan khusus kasus kekerasan terdapat 82 kasus yang diadili di pengadilan militer (dengan vonis hukuman lebih rendah dari vonis tindak serupa di peradilan umum). Ini masih jauh dari angka kekerasan TNI yang kami temukan, yakni 112 kasus penyiksaan oleh TNI," jelas Yati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement