REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendesak DPR dan pemerintah segera merevisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. UU tersebut dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi media saat ini, apalagi semakin berkembangnya media sosial dan digital di Indonesia.
"Saat ini pengawasan yang kami lakukan belum bisa masuk ke ranah media sosial, maka dari itu dengan adanya revisi atau perubahan UU tentang Penyiaran ini memberikan kewenangan kepada kami untuk mengawasi media sosial. Lalu kita bisa menjatuhkan sanksi maksimal kepada pelaku media sosial yang menyalahi aturan dalam penyiaran yang tidak hanya administrasi saja, tetapi pidana," kata Koordinator Bidang Riset KPI Pusat Andi Andrianto di LPJA Pasar Baru, Jakarta, Senin (21/10).
Menurutnya, UU atau regulasi yang saat ini masih digunakan melakukan pengawasan masih untuk media televisi serta radio atau dengan kata lain analog. Sehingga, selama ini ia hanya bisa memantau terkait penyiaran secara digital, seperti media sosial atau situs lainnya.
"Tentunya ini harus menjadi perhatian pihaknya dalam memberikan perlindungan terhadap publik yang ditayangkan di media sosial," katanya.
Namun untuk sanksi, tentunya tidak bisa menggunakan UU Penyiaran, tetapi disesuaikan dengan pelanggaran yang terjadi. Misalnya, bisa dijerat dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008.
"Menyikapi permasalahan di media sosial seperti dalam pengambilan keputusan, kita tahu Dewan Pers sedang peduli terhadap berbagai tayangan yang ada di media sosial. Sementara, KPI meskipun belum melakukan pengawasan terhadap media sosial, tetapi sarana pengaduan kepada KPI bisa dilakukan lewat media sosial," tambahnya.
Andri pun mengimbau insan jurnalis dan perusahaan media bisa memberikan kepercayaan kepada masyarakat terkait produk berita yang dihasilkan, agar warga tidak mencari informasi berita melalui media sosial yang belum tentu kebenarannya.