Senin 21 Oct 2019 09:10 WIB

Tidak Ada Kosakata Korupsi dalam Pidato Pelantikan Presiden

Presiden Jokowi menyampaikan visi misinya namun dinilai kurang bicara korupsi

Presiden Joko Widodo berpidato usai dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Ahad (20/10/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo berpidato usai dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Ahad (20/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Arif Satrio Nugroho, Antara

Peneliti politik Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) kehilangan komitmennya dalam hal pemberantasan korupsi. Penilaian itu merujuk pada pidato pelantikan Jokowi sebagai Presiden 2019-2024 yang tidak menyinggung persoalan korupsi.

Baca Juga

"Menyayangkan pidato presiden yang menghilangkan kosakata korupsi, padahal di akhir jabatan periode pertama, isu korupsi menjadi yang terpenting, terlebih ada upaya pelemahan melalui sistem kerja KPK dan regulasi," keluh Dedi saat dihubungi Republika.co.id, Senin (21/10).

Lebih lanjut, Dedi mengingatkan seolah presiden mengulang apa yang ia sampaikan saat pidato kemenangan beberapa waktu lalu, di Sentul, Bogor beberapa waktu lalu. Ia mengaku mendengar pidato Presiden, menegaskan apa yang sudah disampaikan dalam pidato kemenangan waktu lalu.

"Yakni pemberantasan korupsi bukan prioritas, tentu mengkhawatirkan, bahkan dalam naskah pidatonya korupsi tidak muncul," terang peneliti komunikasi politik Universitas Telkom tersebut.

Menurut Dedi, komitmen pemberantasan korupsi merupakan  faktor utama pembangunan. Ia menilai banyak sektor yang lumpuh karena maraknya praktik korupsi. Sambung Dedi, Presiden Jokowi pasti memahami, birokrasi di Indonesia sudah baik dari sisi prosedur tapi menjadi kacau karena sabotase koruptor.

"Seringkas apa pun keinginan presiden memotong jalur birokrasi, jika komitmen pemberantasan korupsi lemah, maka cita-cita hanya jadi wacana, sulit terimplementasi," tutupnya.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo ikut mengomentari  pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang pemberantasan korupsi. Menurut Agus, ada salah satu dari lima poin pidato Jokowi yang secara tersirat cukup menggambarkan salah satu upaya pemberantasan korupsi.

Poin tersebut terkait rencana Jokowi untuk memangkas birokrasi. "Ya kalau cepat atau apa kan sebetulnya sudah mencerminkan itu (pemberantasan korupsi) kan, birokrasinya, hambatannya hilang," kata Agus Rahardjo saat ditemui usai menghadiri pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin di Kompleks MPR RI, Senayan, Jakarta, Ahad (20/10).

Salah satu faktor yang menyebabkan adanya tindak pidana korupsi di antaranya adalah birokrasi yang rumit dan lambat. Dengan birokrasi yang rumit, akan muncul proses negosiasi yang menyebabkan rawan tindak pidana korupsi, khususnya suap.

Agus menambahkan, Jokowi memang tak secara eksplisit mengucapkan frasa pemberantasan korupsi. Namun, menurut dia, hal tersebut tidak menjadi masalah.

Secara khusus, Agus berharap, apa yang disampaikan Jokowi di pidatonya benar-benar terwujud. "Saya atas nama pribadi dan KPK mengucapkan selamat kepada Pak Jokowi atas periode kedua ya, insyaAllah untuk yang dipidatokan tadi bisa terlaksana," ujar Agus.

Dalam pidato pelantikannya, kemarin, Jokowi menyampaikan lima poin utama dalam menjalankan pemerintahannya lima tahun ke depan. Salah satunya yakni penyederhanaan birokrasi.

"Penyederhanaan birokrasi harus terus kita lakukan besar-besaran. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas," kata Jokowi.

"Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa tidak kebanyakan? Saya minta untuk disederhanakan menjadi dua level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi," ujar Jokowi lagi.

Adapun, empat poin lainnya yakni pembangunan sumber daya manusia (SDM), kelanjutan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, dan transformasi ekonomi.

Tantangan berat

Pengamat hukum Universitas Jember,  Bayu Dwi Anggono mengatakan, tantangan pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin cukup berat. Alasannya, legislasi yang dibentuk selama lima tahun terakhir masih jauh dari harapan masyarakat untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

"Beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang dibutuhkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi justru tidak segera diselesaikan, seperti RUU Pengawasan Sistem Intern Pemerintah, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal," kata Bayu, Ahad (20/10).

Bayu mengatakan, publik justru melihat banyak UU kontroversial yang dibentuk, seperti revisi UU KPK yang dianggap mempersulit KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi. Selama Presiden Jokowi memimpin jilid I juga ditandai masih banyaknya pejabat publik yang melakukan korupsi, termasuk aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.

"Sebanyak 23 anggota DPR periode 2014-2019 terlibat kasus korupsi dan jumlah kepala daerah yang tertangkap melakukan korupsi meningkat pesat di era Presiden Jokowi jilid I itu," kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Pada periode 2016-2019, jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi mencapai 52 orang. Angka itu terdiri atas 9 orang pada 2016, 8 orang pada 2017, 26 orang pada 2019, dan 9 orang pada 2019. Menurut Bayu, agenda pembangunan hukum yang dijanjikan pemerintahan Jokowi dan Ma'ruf Amin tertuang dalam janji kampanyenya beberapa waktu lalu. Di antaranya, penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya melalui penataan regulasi; melanjutkan reformasi sistem, proses penegakan hukum, pencegahan, dan pemberantasan korupsi; pemenuhan HAM; dan mengembangkan budaya sadar hukum.

"Tantangan terberat untuk mewujudkan janji di bidang hukum adalah meyakinkan publik yang telanjur pesimistis bahwa negara benar-benar serius akan melakukan pemberantasan korupsi," kata dia.

Untuk itu, kata dia, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan strategi yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk mencegah praktik korupsi di lingkungan pemerintahannya. Kemudian, meyakinkan publik bahwa presiden memang sungguh-sungguh serius akan menjadi panglima terdepan yang memimpin pemberantasan korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement