Senin 21 Oct 2019 08:20 WIB

Pemberantasan Korupsi Semakin Berat

Periode 2016-2019, jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi mencapai 52 orang.

Petugas Komisi Pemberantasan Korupasi (KPK) membawa dokumen usai melakukan penggeledahan di Kantor Bupati Indramayu, di Indramayu, Jawa Barat, Jumat (17/10/2019).
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Petugas Komisi Pemberantasan Korupasi (KPK) membawa dokumen usai melakukan penggeledahan di Kantor Bupati Indramayu, di Indramayu, Jawa Barat, Jumat (17/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pengamat hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono mengatakan, tantangan pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin cukup berat. Alasannya, legislasi yang dibentuk selama lima tahun terakhir masih jauh dari harapan masyarakat untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

"Beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang dibutuhkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi justru tidak segera diselesaikan, seperti RUU Pengawasan Sistem Intern Pemerintah, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal," kata Bayu, Ahad (20/10).

Baca Juga

Bayu mengatakan, publik justru melihat banyak UU kontroversial yang dibentuk, seperti revisi UU KPK yang dianggap mempersulit KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi. Selama Presiden Jokowi memimpin jilid I juga ditandai masih banyaknya pejabat publik yang melakukan korupsi, termasuk aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.

"Sebanyak 23 anggota DPR periode 2014-2019 terlibat kasus korupsi dan jumlah kepala daerah yang tertangkap melakukan korupsi meningkat pesat di era Presiden Jokowi jilid I itu," kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Pada periode 2016-2019, jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi mencapai 52 orang. Angka itu terdiri atas 9 orang pada 2016, 8 orang pada 2017, 26 orang pada 2019, dan 9 orang pada 2019.

Menurut Bayu, agenda pembangunan hukum yang dijanjikan pemerintahan Jokowi dan Ma'ruf Amin tertuang dalam janji kampanyenya beberapa waktu lalu. Di antaranya, penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya melalui penataan regulasi; melanjutkan reformasi sistem, proses penegakan hukum, pencegahan, dan pemberantasan korupsi; pemenuhan HAM; dan mengembangkan budaya sadar hukum.

"Tantangan terberat untuk mewujudkan janji di bidang hukum adalah meyakinkan publik yang telanjur pesimistis bahwa negara benar-benar serius akan melakukan pemberantasan korupsi," kata dia.

Untuk itu, kata dia, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan strategi yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk mencegah praktik korupsi di lingkungan pemerintahannya. Kemudian, meyakinkan publik bahwa presiden memang sungguh-sungguh serius akan menjadi panglima terdepan yang memimpin pemberantasan korupsi.

photo
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jambi Nasri Umar berjalan seusai diperiksa di kantor KPK, Jakarta, Jumat (18/10).

Ketua KPK Agus Rahardjo menilai, ada salah satu dari lima poin pidato pelantikan Jokowi yang secara tersirat cukup menggambarkan salah satu upaya pemberantasan korupsi. Poin tersebut terkait rencana Jokowi untuk memangkas birokrasi.

"Ya, kalau cepat atau apa kan sebetulnya sudah mencerminkan itu (pemberantasan korupsi), birokrasinya, hambatannya hilang," kata Agus saat ditemui seusai menghadiri pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin di Kompleks MPR, Senayan.

Menurut dia, salah satu faktor yang menyebabkan tindak pidana korupsi di antaranya birokrasi yang rumit dan lambat. Dengan birokrasi yang rumit, akan muncul proses negosiasi yang menyebabkan korupsi, khususnya suap.

Agus mengatakan, Jokowi tak secara eksplisit mengucapkan frasa pemberantasan korupsi. Namun, Agus berharap, apa yang disampaikan Jokowi di pidatonya benar-benar terwujud.

Dalam pidato pelantikannya, Jokowi menyampaikan lima poin utama dalam menjalankan pemerintahannya lima tahun ke depan. Salah satunya, yakni penyederhanaan birokrasi.

"Penyederhanaan birokrasi harus terus kita lakukan besar-besaran. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas," kata Jokowi.

"Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa tidak kebanyakan? Saya minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi," ujar Jokowi.

Adapun, empat poin lainnya, yakni pembangunan sumber daya manusia (SDM), kelanjutan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, dan transformasi ekonomi. n arif satrio nugroho/antara ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement