REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Tak banyak Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan kepada anggota. ‘’Rp 200 ribu per anggota,’’ ungkap Umbu Hinggu Panjanji, tentang SHU terbaru yang dibagikan ke anggota Koperasi Jasa Peduli Kasih, kepada Republika, Senin (14/10).
Namun, kegembiraan tetap terpancar dari para anggota dan warga Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur. Koperasi beranggotakan 48 orang itu bisnis utamanya adalah energi dan air bersih. Ada Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) dan biogas dari kotoran ternak warga.
Tak hanya rumah anggota koperasi yang diterangi listrik. Rumah warga non-anggota koperasi, sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa, bahkan puskesmas pun ikut memanfaatkan listrik PLTMh itu. ‘’Pelanggan listrik non-anggota koperasi ada 300 rumah lebih,’’ ungkap Umbu Panjanji.
Sedangkan untuk biogas, sudah terbangun hampir 200 unit. ‘’Biogas untuk kompor rumah tangga dan sampahnya untuk pupuk,’’ lanjut Umbu Panjanji.
Sudah delapan tahun sejak Oktober 2011, warga Desa Kamanggih tak lagi berpenerang lampu minyak. Dengan adanya listrik, warga bisa menuntaskan pekerjaan di malam hari. Mengupas biji kemiri misalnya, kini bisa dilakukan malam hari.
Warga juga tak perlu lagi mencari kayu bakar untuk memasak. Pun tak perlu lagi berjalan kaki turun sejauh dua kilometer untuk mengambil air di Sungai Mbakuhau.
Dengan begitu, tak ada waktu dibuang untuk turun naik mengambil air ke sungai atau mencari kayu bakar. Dengan begitu, warga bisa memanfaatkan waktu itu untuk melakukan pekerjaan lain seperti menenun atau mengawasi ternak.
Bendungan Sungai Mbakuhau. (Foto: Dokumentasi Umbu Hinggu Panjanji)
Air yang dialirkan ke desa dikelola dengan iuran Rp 15 ribu per bulan bagi keluarga yang memanfaatkannya. Per tahun ada penghasilan Rp 12 juta dari air bersih ini untuk koperasi. Sedangkan dari listrik ada Rp 50 juta. Nilai asetnya mencapai Rp 8 miliar.
Karena air bersih menjadi salah satu usaha, maka koperasi perlu mengadakan perbaikan jika ada pipa yang rusak, bak penampung, pengadaan keran, dan sebagainya. Untuk mendukung kegiatan anggota, koperasi juga mendukung pertanian berkelanjutan, usaha tenun, peternakan, dan sebagainya.
Sungai Mbakuhau yang bermata air di hutan lindung La Bundung, airnya dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin PLTMh. Badan sungai di bukit --berjarak tujuh kilometer dari desa-- dibendung, dibuatkan sodetan untuk aliran baru dengan cara membelah bukit itu. Untuk membangun PLTMh itu, mereka mendapat hibah dari Hivos, lembaga donatur dari Belanda. Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) menjadi LSM pendamping bersama JICA, lembaga donatur dari Jepang.
Lahir di Desa Kamanggih, Umbu Hinggu Panjanji pada 1999 memutuskan ikut membentuk koperasi untuk mewujudkan proyek air bersih. Kini Umbu Panjanji juga menjadi anggota DPRD Kabupaten Sumba Timur.
Pada 1999 Umbu Panjanji terkesiap mendengar cerita dari aktivis energi Tri Mumpuni tentang daerah-daerah lain yang sudah mendapatkan banyak bantuan untuk mengelola energi terbarukan. Umbu Panjanji yang saat itu berusia 24 tahun dipilih sebagai sekretaris koperasi ketika masyarakat bersepakat membentuk koperasi. Ia dijadikan sekretaris karena ia bisa baca-tulis.
Setelah pembentukan badan hukum, mereka mendapat pendampingan tiga bulan dari Dinas Koperasi. Usaha utamanya pengelolaan air bersih memanfaatkan tenaga surya untuk pengalirannya dari sungai ke kampung. JICA yang memberikan bantuan biaya. Namun ketika PLTS rusak, air bersih pun terbengkalai. Warga kembali menempuh jalan menurun untuk mengambil air di sungai sejauh dua kilometer.
Koperasi ini pada 2003 juga mulai membuka unit usaha simpan pinjam dengan kucuran dana Rp 100 juta dari pemerintah. Karena ketua koperasi yang meninggal belum ada pengganti, aktivitas koperasi menjadi turun-naik. Hanya pengurus yang paham mengenai koperasi selama pendampingan tiga bulan dari Dinas Koperasi. Masyarakat tetap awam dengan koperasi.
Pada 2010 koperasi digiatkan lagi. Umbu Panjanji dipilih menjadi ketua dan kemudian mendapat bantuan PLTMh. Air Sungai Mbakuhau berpotensi mampu menggerakkan turbin. Maka, sungai pun dibendung dan warga gotong-royong membelah bukit.
"Alatnya cuma pacul, linggis, dan pakuwel," ujar Umbu Panjanji. Pakuwel merupakan istilah lain dari gancu tanah.
Saat memulai membelah bukit, mereka belum terbayang membutuhkan waktu berapa hari untuk menyelesaikannya. Setiap hari warga Kamanggih naik ke bukit. Ada 20 laki-laki dan lima perempuan menempuh jalan menanjak sejauh tujuh kilometer dalam waktu 30-60 menit setiap harinya..
Keinginan akan adanya listrik yang menerangi desa mereka menjadi pembicaraan setiap hari. Masyarakat pun bersemanagat menyelesaikan pembelahan bukit.
"Setiap hari tak habis-habisnya kami membahas keinginan segera menyelesaikan pekerjaan sehingga bisa menyaksikan air yang juga bisa menghasilkan listrik," tutur Umbu Panjanji.
Mereka membelah bukit itu pada Januari 2011, bekerja dari pukul 08.00 WITA hingga pukul 16.00 WITA. Setiap keluarga mendapat giliran sekali. Mereka makan di lokasi. Lima perempuan yang setiap hari ikut ke bukit bertugas memasak di lokasi. Periuk besar, kuali, piring, dan sebagainya diangkut dari kampung.
Para lelaki, harus membuat permukaan bukit menjadi datar sepanjang 20 meter untuk memindahkan aliran sungai menuju lokasi turbin yang akan mereka pasang. Ada tanah setinggi 14 meter yang harus mereka pangkas untuk mendapatkan permukaan datar yang akan dijadikan saluran selebar 75 sentimeter, sedalam 50 sentimeter.
Tanah yang mereka gali, mereka gelontorkan ke sungai yang ada di bawahnya. Pekerjaan baru selesai di hari ke-14. Air mengalir lebih deras daripada aliran sungai yang ada di bawahnya. Air inilah yang menghasilkan 30 Kw listrik, melampaui kapasitas yang dihasilkan aliran sungai yang hanya menghasilkan 10 Kw. Itulah alasan mengapa mereka harus membelah bukit untuk membuat parit yang lebih pendek dan alirannya jatuh ke turbin dari ketinggian 30-an meter.
Butuh waktu panjang untuk bisa membelah bukit. Sempat tersendat dua tahun lantaran terbentur birokrasi. Saat itu mereka melaporkan ke pemerintahan di atas desa tentang rencana adanya bantuan dana untuk pembuatan PLTMh. Urusan dipersulit, ujung-ujungnya ditanya, "Jika dana turun saya mendapat berapa?"
Setelah berganti pejabat, baru urusan lancar. Listrik menyala di Desa Kamanggih. Di hari yang telah ditetapkan untuk uji coba penyalaan listrik, ada petugas yang berkeliling dari rumah ke rumah, mengumumkan akan ada penyalaan listrik sekitar pukul 09.00-10.00 WITA.
Warga pun rela tak ke kebun atau pulang lebih awal dari kebun, menunggu di rumah masing-masing untuk menyaksikan lampu listrik menyala. Di rumah turbin, Theopilus Tamu Uma bertugas mengoperasikan PLTMh. Ia yang semula berpendapatan tak sampai Rp 1 juta per bulan, kini bisa mendapat Rp 2 juta lebih sebagai operator PLTMh.
Skema PLTMh memanfaatkan air Sungai Mbakuhau. (Foto: Dokumentasi Umbu Hinggu Panjanji)
Ia harus berlari tujuh kilometer dari rumah turbin untuk bisa melihat listrik menyala di rumahnya. Pukul 10.00 WITA kegembiraan menyeruak. Listrik menyala. Curahan tenaga warga membelah bukit terbayar hari itu. Mereka menjadi yakin, air yang ada di desanya bisa menyalakan lampu.
Hari itu menjadi hari spesial. Tak ada yang tidur sore seperti hari-hari sebelumnya. Terang malam di Kamanggih hari itu mendorong warga berbincang hingga larut malam, saling berkunjung. Umbu Panjanji pun baru berangkat tidur pukul 02.00 dini hari, membawa senyum bahagianya.
Ada suasana baru setelah ada listrik di Kamanggih. Perekonomian pun berubah. Umbu Rongga berani meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai sopir angkutan barang dan sejak 2014 membuka usaha mebel. Sebagai sopir ia mendapat penghasilan Rp 400 ribu per bulan, setelah membuka usaha mebel penghasilannya menjadi Rp 3 juta per bulan. Pengerjaan mebel terbantu oleh listrik.
Listrik PLTMh oleh Koperasi Jasa Peduli Kasih dijual ke PLN. Dengan demikian, koperasi tak perlu melakukan perawatan PLTMh dan jaringan listrik ke rumah-rumah karena sudah me njadi tanggung jawab PLN.
Koperasi tinggal mengelola dana dari PLN untuk pengembangan koperasi. Pada 2018, Koperasi harus merenovasi rumah turbin yang rusak akibat banjir bandang pada akhir Maret 2018. Dua panel listrik rusak dan turbin tertimbun reruntuhan.
‘’Koperasi mendapat penghasilan Rp 50 juta per tahun dari hasil penjualan listrik itu ke PLN,’’ ujar Umbu Panjanji. Oleh koperasi, listrik dijual seharga Rp 475/Kwh ke PLN. Selain me njual ke warga dengan harga sangat murah.
Sebelum diserahkan pengelolaannya ke PLN, warga membayar iuran Rp 20 ribu per bulan. Setelah dikelola PLN, warga memerlukan token untuk bisa menyalakan listrik. Dengan pulsa token Rp 20 ribu cukup untuk menyalakan lampu dan televisi. Namun jika ada kulkas, kebutuhan pulsa token bisa lebih dari itu per bulannya.
‘’Untuk pembelian pulsa token listrik, warga bisa melakukannya dengan cara bayar nontunai, sedangkan untuk bayar air masih dengan cara bayar tunai,’’ jelas Umbu Panjanji.
PLTMh itu kemudian juga dimanfaatkan untuk menghidupkan pompa yang mengalirkan air bersih ke kampung. Sebelumnya menggunakan pompa listrik dari PLTS yang dipasang tahun 1999.