REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pakar Gizi (Pergizi) dan Pangan menyatakan kerusakan pangan pascapanen akibat penanganan yang belum baik memengaruhi pasokan bahan makanan. Alhasil, kondisi itu akan berujung pada kualitas yang bisa didapat oleh masyarakat.
Ketua Perhimpunan Pakar Gizi (Pergizi) dan Pangan Prof Hardinsyah di Jakarta, Kamis, mengungkapkan sejumlah kajian menyebut 10 sampai 20 persen rusaknya pangan terjadi di rantai pascapanen. "Telat ditangani menjadi busuk, jalan macet, tidak ada ada pendingin, kalau ayam mati di jalan karena dibawa di cuaca panas dengan cara tidak baik, dan sebagainya," kata Guru Besar IPB itu.
Menurut Hardinsyah, dengan memperbaiki penanganan pascapanen, khususnya di rantai pemasaran, bisa menghemat biaya dalam upaya meningkatkan produktivitas pangan di Indonesia. Ia mengemukakan bahwa memperbaiki proses pascapanen bisa lebih murah dibandingkan harus menambah lahan produksi atau meningkatkan pupuk dan bibit yang semakin banyak.
Hardinsyah mengapresiasi peningkatan produksi pangan lokal seperti yang dilaporkan oleh Kementerian Pertanian. Namun, menurut dia, pemerintah harus lebih memerhatikan bagaimana produk pangan tersebut bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat sebagai sumber gizi dalam misi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
"Dari sisi pangan harus digenjot tidak hanya produksi, tapi bagaimana dimakan sampai ke mulut. Kaitannya dengan pengetahuan dan distribusi supaya merata di berbagai kelompok masyarakat, terutama pangan hewani," katanya.
Hardinsyah juga menekankan pentingnya pemerintah untuk menggenjot asupan pangan masyarakat dari protein hewani bila ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagaimana visi Presiden Joko Widodo di periode kedua.