REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dapur, kasur, sumur, adalah tiga kata yang diidentikkan menjadi tempat yang cocok untuk perempuan. Sampai hari ini, stereotype tersebut masih cukup kuat melekat di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit orang yang mengaitkannya dengan doktrin agama sehingga melabelkan perempuan yang keluar dari tiga tempat tersebut sebagai perempuan salah arah. Benarkah demikian?
Dalam rangka memaknai Hari Parlemen 16 Oktober 2019, Dr Netty Prasetiyani MSi, Wakil Ketua FPKS DPR RI, mengingatkan, agar jangan menyederhanakan peran perempuan sedemikian rupa. Sebab, urusan dan kerumitan di tiga ruang tersebut amat dipengaruhi oleh kebijakan negara.
"Sebut saja, harga bahan kebutuhan pokok, air bersih, listrik, kesehatan ibu, kesehatan anak, kecerdasan anak, dan risiko kematian ibu dalam proses persalinan. Semua itu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang dihasilkan oleh proses politik," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Netty, bagaimana mungkin perempuan tidak terlibat dalam ruang publik dan politik. Partisipasi perempuan, kata dia, adalah sebuah keniscayaan untuk kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan. "Bukan karena perempuan kurang kerjaan atau sekadar menuntut persamaan hak," ucapnya.
Menurut Netty yang terpilih sebagai anggota DPR RI Dapil Cirebon - Indramayu, negara membutuhkan andil dan karya perempuan untuk melahirkan kebijakan yang ramah bagi perempuan, anak, keluarga, dan seluruh elemen bangsa. Sampai hari ini angka kematian ibu, angka kematian bayi, rata-rata lama sekolah perempuan masih rendah.
"Jumlah keluarga pra sejahtera, tingkat kekerasan terhadap anak dan perempuan, kasus perdagangan perempuan, dan jumlah pekerja anak di Indonesia, juga masih tinggi," sebut Netty.
Hadirnya perempuan di parlemen, baik di tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan nasional, kata Netty, diharapkan dapat memberikan kontribusi penyesaian persoalan-persoalan krusial menyangkut perempuan, anak, dan keluarga. Karena itu, kiprah perempuan di parleman harus memastikan hadirnya kebijakan publik yang pro rakyat.
Dengan tuntutan seperti itu, kata Netty yang pernah menjadi Ketua P2TP2A Jawa Barat, perempuan di parlemen harus terus meningkatkan kualitas, kapasitas, dan kompetensinya agar perannya dapat memberi manfaat bagi banyak orang. "Saat ini baru 119 perempuan dari total 575 anggota DPR RI. Perlu upaya serius dari pemerintah, partai politik, dan elemen masyarakat lainnya guna meningkatkan jumlah perempuan anggota legislatif di DPR RI," ujarnya.
Terakhir, Netty mengingatkan agar perempuan Indonesia terus berkarya dan berprestasi dalam bidang yang digelutinya. "Jangan terjebak dengan stereotype dapur, kasur, sumur, akan tetapi jadikan 'dapur, kasur, dan sumur' sebagai pijakan untuk melakukan lompatan dan perluasan peran," tandasnya.