Selasa 15 Oct 2019 17:29 WIB

Pertanyaan Ketua KPK: Perppu Jadi atau Tidak?

Ketua KPK sindir pemerintah soal Perppu KPK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo usai sosialisasi Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 tentang sistem informasi pemerintah daerah di Jakarta, Selasa (15/10).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo usai sosialisasi Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 tentang sistem informasi pemerintah daerah di Jakarta, Selasa (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mempertanyakan apakah pemerintah jadi atau tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan. Hal itu ia sampaikan langsung di depan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang sekaligus menjabat Pelaksana Tugas Menteri Hukum dan HAM (Plt Menkumham).

"Ini sebenarnya Perppu KPK jadi dikeluarkan atau engga, itu juga beliau (Tjahjo Kumolo) belum bisa menjawab. Masih dipikirkan kata beliau begitu," ujar Agus dalam sambutan acara sosialisasi Peraturan Mendagri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah, Selasa (15/10).

Baca Juga

Kegiatan itu juga dihadiri sekitar 800 perwakilan pemerintah daerah seperti Sekretaris Daerah provinsi maupun kabupaten/kota, juga Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda). Agus menuturkan, masa kepemimpinan KPK akan berakhir pada 17 Oktober berbarengan dengan berlakunya UU KPK hasil revisi.

Menurut dia, ketika UU KPK itu efektif berlaku maka pimpinan KPK tak lagi mempunyai kewenangan sebagai penegak hukum. Sebab, lanjut Agus, UU KPK hasil revisi menjelaskan bahwa pimpinan KPK tak lagi berwenang sebagai penyidik maupun penuntut.

Sehingga, Agus mengatakan, kemungkinan operasi tangkap tangan (OTT) KPK tak ada seiring tidak adanya kewenangan itu. Agus pun menyindir perkataan Tjahjo pada saat sambutan yang berharap periode pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak ada lagi OTT.

Namun, Agus mempertanyakan apa yang dimaksud Tjaho tersebut, apakah tidak ada OTT karena upaya pencegahan korupsi atau pelemahan KPK. Menurutnya, Tjaho sebagai Plt Menkumham belum bisa menjawab terkait ada atau tidaknya penerbitan Perppu KPK.

"Pak Menteri tadi sudah menyampaikan harapannya pemerintahan kedua tidak ada OTT lagi. Tapi saya enggak tahu dan bertanya-tanya, tidak ada OTT ini karena arah kita ke pencegahan atau KPK dimatikan. Saya enggak tahu sampai hari ini. Karena saya tanya Pak Menteri tadi sebagai Pelaksana Tugas Menkumham juga beliau belum bisa menjawab," jelas Agus.

Bahkan Agus juga melontarkan pernyataan dihadapan hadirin yang merupakan perwakilan pemerintah daerah. Agus mengatakan, kemungkinan para penyelenggara pemerintahan daerah akan senang jika memang KPK tak bisa lagi OTT para pelaku korupsi.

"Karena di Undang-Undang yang baru itu jelas bukan penyidik, bukan penuntut. Dengan cara begitu kan kemudian mungkin tak ada OTT lagi. Mungkin yang senang bapak/ibu di daerah. Tinggal dua hari lagi. Kami menunggu harus seperti apa. Jadi di KPK menunggu saja," tutur Agus disambut tepuk tangan hadirin.

Selain itu, Agus juga menyebutkan indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih berada di angka 38 dari rentang 0 sampai 100 versi laporan 2018 Tranparency International. Menurut dia, capaian itu masih relatif kecil karena ranking Indonesia berada di bawah negara tetangga Malaysia dan Singapura.

"Kalau tetangga kita Singapura yang indek persepsi korupsinya selalu bagus masuk 10 besar terbaik. Kita hari ini perlu saya laporkan angkanya masih 38. Bayangkan 100 terbaik 0 terendah, itu kita 38 pada 2018," kata Agus.

Sementara belum ada laporan untuk 2019, Agus tak tahu indeks persepsi korupsi Indonesia akan membaik atau tidak. Namun, ia memastikan nilai 38 memang lebih baik dibandingkan Orde Baru.

"Orde baru itu hanya 17 indeks persepsi korupsinya. Pada saat itu angka 17 boleh dikatakan kita paling jelek di Asean. Tahun 1999 skor kita 17, Malaysia sudah 51, Filipina sudah 36, Thaliand 34. Pelan-pelan setelah reformasi kita memperbaiki diri ini berkembang. 17 itu sudah menjadi 38," jelas dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement