Selasa 15 Oct 2019 16:49 WIB

Letusan Merapi Kemarin Lebih Besar dari September Lalu

Kolom asap letusan setinggi kurang lebih 3.000 meter dari puncak.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Aktivitas puncak Gunung Merapi.
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Aktivitas puncak Gunung Merapi.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Letusan awan panas Gunung Merapi kembali terjadi pada Senin (14/10) malam. Jika dibandingkan letusan awan panas yang terjadi pada 22 September, letusan pada 14 Oktober terbilang lebih besar.

Itu bisa dilihat beberapa catatan yang terekam Balai Penyeldidikan dan Pengembnagan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG). Amplitudi letusan 75 milimeter, lebih dari September yang cuma 70 milimeter.

Kemudian, durasi terjadinya letusan yang mencapai 270 detik, lebih besar dari September yang cuma 125 detik. Yang paling mencolok tentu kolom asap karena September lalu cuma setinggi 800 meter dari puncak.

"Kolom asap letusan setinggi kurang lebih 3.000 meter dari puncak," kata Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, Selasa(15/10).

Letusan ini jadi yang kedua selama aktivitas level dua atau waspada ditetapkan kepada Gunung Merapi. BPPTKG turut menerbitkan Volcano Observatory Notice for Aviation (VONA) warna orange.

Artinya, aktivitas Gunung Merapi memiliki potensi mengganggu atau membahayakan penerbangan, dan pesawat diminta menghindari. Status itu sendiri diterbitkan beberapa saat setelah letusan awan panas terjadi.

Akibat letusan, hujan abu dilaporkan pula terjadi di sekitar Gunung Merapi. Hujan abu yang terjadi didominasi ke sektor barat sejauh 25 kilometer dari puncak mulai Senin malam sekitar 18.05 WIB.

Tidak teramati peningkatan data signifikan menjelang kejadian. Hanik kembali menjelaskan, kejadian letusan ini disebabkan gas vulkanik yang selama ini tertahan di dalam terlepas secara tiba-tiba.

Ia menuturkan, ancaman bahaya dari letusan ini hampir sama seperti letusan yang terjadi pada September. Namun, hasil pemodelan BPPTKG cukup memberikan prakiraan yang menenangkan.

"Jika kubah lava saat ini (468 ribu meter kubik) runtuh, luncuran awan panas tidak melebihi radius tiga kilometer," ujar Hanik.

Meski begitu, aktivitas Gunung Merapi masih tinggi setelah letusan. Petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Ngepos, Heru Suparwaka melaporkan, guguran awan panas terjadi setelah letusan.

Tepatnya, pada 20.19 yang tercatat di seismogram memiliki amplitudo maksimal 30 milimeter dan durasi kurang lebih 76 detik. Jarak luncur tidak teramati karena cuaca yang berkabut.

Selanjutnya, guguran awan panas kembali terjadi pada Rabu (15/10) dini hari atau sekitar 00.04 WIB. Heru menerangkan, guguran tercatat di seismogram beramplitudo maksimal 53 milimeter dan durasi 102 detik. "Awan panas tidak terpantau secara visual karena cuaca berkabut," kata Heru.

Aktivitas Gunung Merapi kembali menurun baru pada periode pengamatan Rabu pagi menjelang siang atau pada 06.00-12.00 WIB. Heru menjelaskan, secara meteorologi cuaca cerah dan berawan.

Angin bertiup lemah hingga sedang ke arah barat dan barat laut. Suhu udara 21.29,7 derajat Celcius, kelembaban udara 20-79 persen dan tekanan udara berkisar 568,8-709,5 milimeter merkuri.

Selama periode pengamatan itu, aktivitas kegempaan tidak terlalu tinggi. Cuma ada enam gempa guguran, dua gempa hembusan dan satu gempa tektonik lokal sepanjang periode tersebut.

"Asap kawah teramati berwarna putih dengan intensitas tipis hingga sedang dan tinggi 50 meter di atas kawah," ujar Heru.

BPPTKG meminta masyarakat tetap tenang dan beraktivitas biasa di luar radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi. Serta, mengakses info-info seputar Gunung Merapi melalui kanal-kanal resmi BPPTKG.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement