Jumat 11 Oct 2019 21:39 WIB

Dilema Restorasi Gambut

Lapisan lahan gambut akan tetap basah.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead

REPUBLIKA.CO.ID,DUMAI --- Pembahasan lahan gambut dengan pembuatan sekat kanal tengah menjadi salah satu upaya Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi gambut. Diharapkan dengan pemasangan sekat kanal itu dapat menahan air yang sudah tertampung di kanal sehingga tidak mengalir jauh ke sungai.

Dengan begitu, lapisan dalam lahan gambut pun akan tetap basah. Ini setidaknya dapat mencegah -jika terjadi kebakaran- api hanya berada di permukaan atas lahan gambut. 

Dari tujuh provinsi yang menjadi prioritas restorasi, BRG menargetkan pembuatan sekat kanal pada 2019 untuk pembasahan gambut -kecuali lahan gambut di papua- diantaranya di Riau sebanyak 303 unit, Jambi 150 unit, Sumatera Selatan 210 unit, Kalimantan Barat 101 unit, Kalimatan Tengah 341 unit, Kalimantan Selatan 55 unit. 

Terkhusus di Riau, sejak dua tahun lalu telah ada seribuan lebih sekat kanal yang dipasang. Diantaranya pada 2017 sebanyak 309 sekat kanal, 2018 sebanyak 669 sekat kanal, dan tahun ini baru 47 sekat kanal. 

“Yang kita lihat diberbagai tempat itu sangat efektif. Tapi memang keefektifitasannya tergantung berapa kita berani menaikan pintu sekatnya, artinya air yang tertampung akan lebih tinggi,” mengutip pernyataan kepala BRG, Nazir Foead saat Republika.co.id mengikuti kunjungan ke kawasan gambut di Riau pada Kamis (10/10).

Kendati dianggap efektif mencegah kebakaran gambut, namun bukan perkara mudah untuk membuat sekat kanal. Sebab menurut Nazir biaya pembuatan sekat kanal dengan kayu khusus yakni kayu gelam mencapai Rp 23 juta per satu sekatnya. Sementara alokasi anggaran BRG untuk restorasi gambut tahun ini hanya Rp 315 miliar. 

Memang ada cara yang terbilang ‘ampuh’ agar lahan gambut tak terbakar baik di pada lapisan dalam maupun permukaan lahan gambut. Yakni dengan membanjiri lahan. Ini dapat dilakukan dengan meninggikan sekat kanal pada sekeliling area gambut sehingga ketinggian air semakin naik.

Air yang melebihi ketinggian area gambut pun dapat meluap dan membanjiri lahan. Namun ini pun bisa berdampak pada pertanian masyarakat yang melakukan budidaya tanaman seperti nanas di lahan gambut. 

Di lain sisi, pemanfaatan gambut dengan budidaya tanaman tertentu juga merupakan program BRG untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, dan lebih jauh lagi agar masyarakat memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kawasan gambut sehingga tak ada lagi masyarakat yang membakar gambut dengan sengaja terlebih karena ajakan pemodal yang ingin berinvestasi di area gambut.

“Tahun terakhir ini harus kita akui tahun yang paling menantang. Dari 900.000 hektare (non konsesi) baru 678.000 hektare yang dikerjakan, tahun ini mungkin sudah mendekati 800.000 hektar lah. masih sisa 100.000 hektar tahun depan, jadi kita harus bangun sekat kanal di 100.000 hektare tahun depan. Disamping itu kita harus memastikan sekat kanal yang sudah dibangun dari tahun pertama sampai sekarang harus di pelihara,” katanya. 

Diketahui BRG memiliki tugas merestorasi 2,7 juta hektar lahan di tujuh provinsi di tadi. 1,7  juta hektar merupakan lahan konsesi, sedang sebanyak 900.000 hektare non konsesi. Nizar pun mengakui di lahan non konsesi masih terdapat 33.000 hektare yang terbakar tahun ini. Sebab itulah, masyarakat pun didorong untuk turut berpatroli agar lahan-lahan gambut tak lagi terbakar. 

“Harus dengan patroli, penyadaran dan peningkatan kesejahteraan sehingga kalau ada yang nakal mau buka lahan bayar masyarakat, mereka engga mau karena udah punya kebun nanas di lahan gambut, jadi mengurangi kesempatan orang nakal dilain sisi meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement