REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet meminta pemerintah dan DPR RI untuk menyerap aspirasi dari berbagai elemen masyarakat terkait pembahasan RUU KUHP. Dia mengatakan, hal itu dilakukan menyoal ditundanya pengesahan RUU tersebut oleh parlemen beberapa waktu lalu.
Menurut Bamsoet pemerintah dan DPR juga jangan hanya menyerap aspriasi dari LSM maupun praktisi hukum. Dia berharap, ke depan DPR sebaiknya juga banyak melibatkan kalangan ilmuan sosial dan politik seperti Forum Dekan Ilmu-Ilmu Sosial Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia maupun forum akademis lainnya untuk sama-sama membedah RUU KUHP.
"Tak hanya membedah, jika nantinya RUU ini rampung maka berbagai kalangan dan praktisi juga bisa membantu sosialisasi secara masif sehingga, masyarakat bisa ikut tercerahkan," kata Bamsoet dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (8/10).
Terkait penolakan revisi RUU KPK, Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014-2016 ini menjelaskan, mengingat UU KPK sudah disahkan, maka kini bolanya ada di pemerintah. Dia mengatakan, jika masyarakat tak puas maka bisa mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menilai wajar aksi unjuk rasa yang dilakukan beberapa waktu lalu di depan gedung DPR. Dia berpendapat, demonstrasi merupakan hak politik setiap warga negara yang diatur dalam perundang-undangan.
Hanya saya, dia meminta, aksi tersebut jangan selalu berujung pada kerusuhan. Dia menegaskan jika gerakan rusuh maka siap-siap berhadapan dengan aparat hukum untuk diproses sesuai koridor hukum.
"Karena negara kita merupakan negara hukum, tak boleh siapapun membuat kerusuhan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat," katanya.
Di saat yang bersamaan, dia menambahkan bahwa sudah saatnya sistem Pilkada dan Pemilu secara langsung dikaji ulang. Dia mengatakan, pilkada dan pemilu langsung menjadikan politik berbiaya tinggi. Hal itu, menurutnya, akan mendorong kepala daerah atau anggota dewan terpilih berbuat hal yang tidak patut untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan.
"Dapat dibayangkan untuk menjadi kepala daerah saja dibutuhkan puluhan miliar. Begitu juga untuk terpilih menjadi anggota Parlemen. Kalau dipikir jernih, hanya mengandalkan gaji yang diterima tentu tidak akan menutupi pengeluaran yang ada. Karenanya, sistem pemilihan langsung seperti sekarang perlu dikaji ulang lagi untuk menghindari mudharat yang lebih besar," katanya.