Selasa 08 Oct 2019 06:44 WIB

Kenangan Dari Kota Santri Bambu Runcing, Parakan

Parakan sebuah kota santri dan perjuangan yang penuh kenangan.

Sejumlah Andong parkir di sekitar simpang tiga kawasan pasar Legi Parakan, Temanggung, Jawa Tengah Kamis (30/5/2019)
Foto: Antara/Anis Efizudin
Sejumlah Andong parkir di sekitar simpang tiga kawasan pasar Legi Parakan, Temanggung, Jawa Tengah Kamis (30/5/2019)

Oleh: Mohammad As'adi, Jurnalis Senior Republika

Kota Parakan adalah jantung dan nafas saya, saya lahir dan besar di kota itu. Setahu saya di masa perjuangan, Mbah saya H Ridwan adalah bendaharawannya pesantren 'Bambu Runcing', KH Mbah Subkhi. Bapak jadi anggota Partai Masjumi, saya sendiri aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), sebelumnya pernah ikut basictraining (BATRA) IPNU. Kami besar di keluarga Muhammadiyah , mengaji di lingkungan nahdhiyin (Ponpes Zaidatul Maarif, Ponpes Kiai Parak)dan pernah sekolah di tsanawiyah yang didirikan para alumnus Pondok Gontor.

Lalu kemana aku perginya ? belajar kehidupan di Malioboro menggelandang bersama generasi emas satra Indonesia, sebagai seniman . Ketika pulang, saya belajar kehidupan di sepanjang jalan Diponegoro di Kota Parakan, orang-orang setempat menyebutnya sebagai Pecinan. 
Pecinan-Kota Parakan, menjadi salah satu pelabuhan kecilku, mengarungi keterasingan, berayun-ayun memintal harapan dengan puisi, gitar dan nyanyian kegelisahan yang akhirnya berlabuh pada seorang perempuan yang melahirkan anak-anak saya.

Kota Parakan yang konon tengah diperjuangkan menjadi 'Kota Pusaka', bagi saya adalah puisi terpanjang dalam hidup saya. Di novel Pat Be Tio –Kota Parakan- yang merupakan kisah nyata komunitas Tinghoa karya Hau Lian Oen yang terbit tahun 1928, disebutkan sebagai kota sangat mesum. Selain itu, juga menjadi tempat peredaran candu yang didatangkan dari Lasem.

Jalan Diponegoro, Jalan Ngadirejo dan Sebokarang merupakan tempat tinggal komunitas Tionghoa, termasuk seorang pendekar asal negeri tirai bambu Lauw Tjieng Tie . Sementara Klewogan, Karang Tengah sampai Kauman dan Jetis merupakan wilayah yang ditinggali para pendekar dan kiai, seperti KH Subuki, KH Ridwan. K Istachori Samani, KH Nawawi, KH Nahrowi, KH Somagunardo, KH Abdurrahman dan lainnya.

Parakan,adalah Pecinan dan Bambu Runcing. Parakan adalah barometer bagi Temanggung, baik politik maupun tradisi keilmuannya. Maka tidak mengherankan , pada serentetan kerusuhan massa menjelang Pemilu ’97, Parakan dijadikan ajang pertikaian partai politik.

Meski beberapakali ada upaya provokasi agar terjadi kerusuhan rasial, upaya itu tak pernah ada hasilnya. Itulah uniknya Parakan, hubungan pribumi dan non pribumi di kota ini cukup harmonis.

Saya jadi ingat masa muda saya, walau acapkali terjadi pertikaian dengan anak-anak turunan etnis Tionghoa, tidak membuat kami bermusuhan. Kami tetap menjalin persahabatan. Bahkan tidak sedikit pemuda pribumi mengincar ‘amoy-amoy’.

Ada banyak nama amoy jelita jadi incaran pemuda-pemuda pribumi. Saya kenal nama Bing Giok, amoy yang aduhai , juga Gwa Cing, Gwat Hua, Gwat Siang, Siu Lan, Desiana atau lainnya.

Saya juga bersahabat dengan Un Han, Hando, Wiwik, Han Tiong dan lain-lain. Bahkan tidak sedikit pemuda pribumi belajar ilmu bela diri pada Tong Un, pewaris ilmunya Lou Tjieng Tie. Bahkan bahasa keseharian yang digunakan, banyak memakai bahasa Tionghoa, seperti mbojengli, cialat,ciak,Mbojai,Mbosai, nggopek, jingo, cepek, lakpek dan seterusnya dan seterusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement