Senin 07 Oct 2019 15:06 WIB

LPPOM MUI Kritisi Pemberlakuan UU JPH

Pelaku usaha makanan dan minuman yang tercatat di BPOM ada 1,6 juta.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim menyatakan penerapan UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) terkait wajibnya produk makanan dan minuman bersertifikat halal pada 17 Oktober ini merupakan langkah emosional. "Penerapan UU JPH 17 Oktober nanti adalah penerapan yang emosional. Secara emosi, ruh, saya dukung penerapan ini, tapi saya kan harus rasional, dan enggak mungkin 17 Oktober itu," kata dia, Senin (7/10).

Lukman menjelaskan, pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) yang tercatat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebanyak 1,6 juta. Sedangkan produk mamin yang tercatat telah tersertifikasi halal menurut catatan LPPOM MUI, yakni sekitar 500 ribu.

Baca Juga

"Berarti ada sekitar 70 persen yang harus kita lakukan sertifikasi. Kalau bicara mamin saja, berarti ada 1,1 juta produk mamin yang harus sudah disertifikasi di seluruh Indonesia mulai 17 Oktober. Belum lagi produk-produk lain, ada consumer good dan lainnya," ujar dia.

Lukman juga menambahkan, berdasarkan pasal 4 UU JPH, seharusnya semua produk yang masuk dan beredar di seluruh wilayah Indonesia itu harus memiliki sertifikat halal. Artinya, ada 1,1 juta produk mamin yang dilarang beredar di Indonesia sebelum mendapatkan sertifikat halal.

Di LPPOM MUI, saat ini rata-rata proses sertifikasi dari registrasi hingga terbitnya sertifikat halal berlangsung selama 43 hari. Bila mengacu pada rentang waktu ini, maka 1,1 juta perusahaan harus meninggalkan usahanya selama 43 hari untuk menempuh proses sertifikasi halal.

"Menurut saya, sudahlah, 17 Oktober ini jangan dipaksakan jika tidak ingin ada chaos ekonomi. Jadi berapa karyawan yang harus dirumahkan sementara, berapa juta karyawan yang akan tidak punya penghasilan selama satu bulan meski tidak disebut sebagai pengangguran ya," tuturnya.

Dampak berikutnya, papar Lukman, pergerakan ekonomi juga akan melemah karena rantai pasoknya terhenti. Misalnya restoran yang biasa membeli wortel, daging, sayur, dan lain-lain itu dapat terdampak karena tidak bisa berjualan. "Karena produk yang masuk dan beredar (mulai 17 Oktober) itu wajib bersertifikat halal," ujarnya.

Menurut Lukman, Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum memiliki infrastruktur, suprastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Bahkan, ungkapnya, untuk melakukan registrasi secara masif pun BPJPH belum siap.

"BPJPH ini belum punya infrastruktur untuk registrasi. Mereka juga belum punya SDM-nya. Karena saat dokumen masuk itu harus diverifikasi, dokumennya cukup apa tidak, comply or not comply. Ada enggak SDM-nya, berapa orang? Realistis saja, belum ada, saya tahu belum ada," katanya.

Kewajiban sertifikasi halal bagi produk mamin akan mulai diberlakukan pada 17 Oktober ini, sebagaimana amanat dari UU JPH. Namun kebijakan itu menimbulkan polemik lantaran banyak pihak yang meragukan pelaksanaannya. Mengingat, jumlah produk mamin mencapai jutaan dan tidak sebanding dengan jumlah auditor yang ada. LPPOM MUI sendiri memiliki 1.060 auditor.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement