Senin 07 Oct 2019 03:30 WIB

Pangeran Saudi, Dipuji di Dalam Dikecam di Luar

Setiap reformasi yang muncul dari ‘gerakan jelanan’ dianggap sangat berbahaya

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram

Judul di atas tampaknya  sangat pas untuk menjelaskan siapa sebenarnya Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman bin Abdul Aziz Al Saud. Media Barat  menyebutnya MBS, singkatan dari Muhammad bin Salman. Dan, Si MBS ini di dalam negerinya sana sangat dipuja-puji rakyatnya, terutama anak-anak muda milenial.

Namun, di luar negeri, terutama di kalangan para pegiat hak asasi manusia, Si MBS ini dianggap mempunyai catatan hitam. Dari pemenjaraan terhadap ulama, aktivis perempuan, hingga puncaknya ia dituduh berada di balik pembunuhan wartawan senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi. Maka, ia pun dikategorikan sebagai kelompok pelanggar HAM berat, sama yang dituduhkan kepada Muammar Gaddafi, Saddam Husein, dan Bashar Assad.

Peran besar MBS di Kerajaan Arab Saudi bermula pada 20 Juni 2017. Pada hari itu terjadi hal penting di balik pintu berlapis emas di istana kerajaan di Mekah, yang kemudian mengubah arah sejarah  Saudi. Raja Salman memutuskan untuk menonaktifkan Muhammad bin Nayef sebagai putra mahkota. Untuk gantinya, ia pun mengangkat putranya sendiri, ya Si MBS itu.

Tidak dijelaskan apa alasannya. Padahal, Muhammad yang putra Nayef ini masih keponakan Sang Raja. Padahal, Muhammad yang bin Nayef ini  ditunjuk sebagai pewatis tahta juga baru dua tahun. Usianya pun kala itu masih 60 tahun — umur yang relatif muda dibandingkan raja-raja Saudi ketika naik tahta. Padahal lagi, selama bertahun-tahun Pangeran Muhammad bin Nayef telah melakukan berbagai tugas kerajaan dengan baik tanpa cela.

Sementara itu, Muhammad yang putra Salman atau MBS ini dianggap banyak pihak sebagai ‘anak baru kemarin’. Ketika ditunjuk sebagai putra mahkota pada 21 Juni 2017, usianya baru 32 tahun. Pendidikannya pun hanya di dalam negeri. Ia sarjana hukum Universitas King Saud di Riyadh.

Namun, MBS putra kesayangan Raja Salman — ini yang membedakan dengan Muhammad bin Nayef, meskipun sama-sama cucu Raja Abdul Aziz, sang pendiri kerajaan. Sejak remaja ia sudah dikader sebagai penerus tahta. Di usia 23 tahun, setelah meraih sarjana hukum, ia pun magang di kantor ayahnya yang Gubernur Riyadh. MBS muda dapat menyaksikan sang ayah menyelesaikan berbagai perselisihan dan berkompromi. Ia secara efektif mempelajari seni menjadi negarawan Arab Saudi.

Pada 2013, di usia yang baru menginjak 27 tahun, MBS ditunjuk sebagai ketua mahkamah kerajaan dan penasihat putra mahkota setingkat menteri. Putra mahkota saat itu dijabat ayahnya, Salman bin Abdul Aziz. Jabatan itu secara efektif membuka pintu kekuasaan dan pengaruh baginya.

Ketika Raja Abdullah bin Abdul Aziz wafat pada Januari 2015, posisinya digantikan saudara tirinya, Salman bin Abdul Aziz. Raja yang baru hampir berusia 80 tahun, ia bebas memilih siapa yang akan membantunya. Di Arab Saudi, kekuasaan raja bersifat absolut. Tak bisa dibantah, tidak boleh dilawan.

Putranya, MBS, pun ia tunjuk untuk memegang seabrek jabatan mentereng. Dari Deputi Putera Mahkota, Wakil Perdana Menteri Kedua, Menteri Pertahanan hingga Ketua Dewan Majelis Urusan Ekonomi dan Pembangunan. Sedangkan putra mahkota dijabat oleh Muhammad bin Nayef.

Dua tahun kemudian, Muhammad bin Nayef pun ia berhentikan. Raja Salman lalu menunjuk putranya sendiri, MBS, sebagai gantinya, dengan tetap merangkap berbagai jabatan penting. Mohammed bin Nayef sendiri sejak saat itu menghilang dari mata publik.

Sejak menjadi deputi putra mahkota dan kemudian putra mahkota, MBS bagaikan meteor. Popularitasnya cepat melejit di masyarakat, terutama di kalangan anak muda, yang merupakan 60 persen dari jumlah penduduk Saudi. MBS yang baru  34 tahun dianggap mewakili generasi milenial. Dan, ia memang otak di balik berbagai perubahan besar yang kini sedang terjadi di Saudi.

Perubahan besar itu dimulai ketika MBS – dengan dukungan Sang Raja -- merilis  Visi Saudi 2030 pada 25 April 2016. Isinya: Saudi akan mengurangi ketergantungan pada sektor minyak bumi, dengan mendiversifikasi pendapatan negara, serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi,  pariwisata, dan lainnya.

Untuk mendukung Visi 2030, MBS pun mereformasi bidang sosial dan budaya. Antara lain, perempuan diperbolehkan menyetir mobil, pencabutan sistem perwalian yang selama ini dianggap membelenggu kebebasan perempuan. Maka, kini, tanpa harus izin wali, perempuan bisa membuat paspor, pergi ke luar negeri, pergi ke sekolah atau kuliah, dan seterusnya. Juga perempuan Saudi tidak diwajibkan lagi menutup wajah bila keluar rumah. Mereka kini bahkan diperbolehkan nonton film, konser musik, dan pertandingan sepak bola, berbaur dengan kaum laki-laki. Konser musik dan bioskop sebelum ini tabu di Saudi.

Yang terbaru, Arab Saudi kini juga mengizinkan perempuan menginap sendirian di hotel. Aturan ini tidak hanya berlaku untuk turis atau pengunjung asing, namun juga untuk perempuan Saudi yang sebelumnya wajib didampingi wali pria.

Untuk menggenjot pendapatan dari sektor pariwisata, selain meningkatkan jumlah jamaah umrah dan haji, Saudi kini juga terbuka buat turis asing. Berbagai situs kuno pun dipugar dan dipercantik. Obyek-obyek wisata baru mulai dibangun, termasuk sebuah wisata pantai di pinggir Laut Merah di mana perempuan asing boleh berbikini. Untuk semua itu, baru-baru ini Saudi mengeluarkan kebijakan penerbitan visa turis untuk 49 negara.

Intinya, sejak menjadi putra mahkota, MBS menginginkan — dengan dukungan raja — untuk membalikkan citra Arab Saudi yang ‘suram’ menjadi kawasan yang lebih bebas dan menyenangkan. Termasuk diperbolehkannya bioskop, pengendara perempuan, dan hiburan publik tadi.

Modernisasi dan reformasi yang dilakukan MBS ini bukan tidak menghadapi perlawanan dan kritik di dalam negeri. Terutama dari para ulama, pegiat HAM, aktivis perempuan, dan seterusnya. Dalam hal ini, MBS menyikapinya dengan tegas. Semua kritik yang dianggap bisa mengganggu Visi 2030 ia bungkam. Maka, penangkapan dan pemenjaraan terhadap mereka yang kritis terhadap kebijakannya pun ia lakukan. Pembunuhan terhadap wartawan Saudi  Jamal Khashoggi setahun lalu, konon juga dalam rangka membungkam suara-suara kritis itu.

Berbagai penangkapan, pemenjaraan, dan pembungkaman terhadap suara-suara kritis inilah yang kemudian mengundang berbagai kecaman dari pihak-pihak di luar negeri. Dari politisi, jurnalis hingga pegiat hak asasi manusia. Berbagai lembaga dan pegiat HAM internasional pun menempatkan Saudi sebagai salah satu negara yang banyak melanggar hak asasi manusia.

Yang menarik, penangkapan dan pemenjaraan itu juga dilakukan terhadap aktivis perempuan yang menuntut perempuan boleh menyetir mobil. Padahal, beberapa waktu kemudian, penguasa Saudi justru mengizinkan mereka menyetir mobil. Tampaknya, yang menjadi inti adalah semua perubahan di Saudi itu harus dari atas ke bawah, dari kerajaan. Setiap reformasi atau perubahan yang muncul dari ‘gerakan jelanan’, betapa kecil pun, dianggap sangat berbahaya di negara yang tidak punya partai politik atau oposisi itu.

Dalam banyak hal, bisa dikatakan, MBS kini adalah Saudi itu sendiri. Ia bukan kampiun demokrasi dan bukan tokoh reformasi politik. Bahkan, bagi banyak orang, ia hanyalah seorang diktator. Namun, seperti ditulis BBC News, yang tak bisa disangkal MBS adalah sosok yang memodernisasi kondisi perekonomian dan sosial Arab Saudi. Dan, pada usia 34 tahun, ia tahu bahwa ketika sang raja wafat, maka ia akan menerima tampuk kekuasaan negara terbesar di Timur Tengah. Bukan hanya untuk satu dekade, melainkan untuk 50 tahun ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement