Jumat 04 Oct 2019 17:47 WIB

Menjawab Persoalan Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil

Lulusan SMK bisa menjadi solusi kebutuhan tenaga kerja di sektor padat karya.

Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan praktik mesin di SMK Negeri 1, Jakarta, Senin (1/10).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan praktik mesin di SMK Negeri 1, Jakarta, Senin (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erik Purnama Putra*

Salah satu tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia di dunia kerja, khususnya industri padat karya adalah masih rendahnya kualitas tenaga kerja. Padahal, pada era industri 4.0 yang menuntut persaingan ketat, negeri ini membutuhkan sumber daya manusia (SDM) terampil dengan tingkat pendidikan mumpuni agar bisa berkompetisi dengan negara lain.

Selama ini, pemerintah sangat menggantungkan aktivitas industri padat karya yang dikenal mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah masif. Keberadaan sektor padat karya terbukti bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk mengurangi tingkat pengangguran.

Tidak mengherankan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencanangkan untuk memprioritaskan pengembangan industri padat karya yang berorientasi ekspor sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi sampai tahun 2025. Industri padat karya yang dimaksud, terdiri sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) dan garmen, mainan anak, serta alas kaki.

Langkah itu dilakukan lantaran sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 225 ribu orang per tahun. Dengan kata lain, industri padat karya berkontribusi sangat besar, yaitu mencapai 56 persen dari total serapan tenaga kerja pada industri manufaktur sebanyak 400 ribu setiap tahun.

Sayangnya, berdasarkan data teknis perindustrian, dari 128 juta struktur lapangan kerja yang tercipta di Indonesia, jumlah orang yang kompeten di bidangnya baru di angka 40 jutaan pekerja (33 persen). Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi jika merujuk sebanyak 55 juta pekerja hanya lulusan sekolah dasar (SD), disusul 16 juta pekerja lainnya tamatan sekolah menengah pertama (SMP).

Besarnya jumlah pekerja yang berstatus tidak terdidik itu akhirnya berkorelasi dengan produk yang dihasilkan. Apabila sebuah pekerjaan dilakukan oleh tenaga terampil maka kualitas produk tentu akan lebih baik. Di sinilah masalah yang dihadapi industri padat karya Indonesia, yang mayoritas digerakkan oleh pekerja tidak terampil lantaran hanya didominasi berpendidikan rendah.

Selama ini, upaya yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi hal itu adalah dengan menugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendirikan atau membuka sekolah menengah kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya sejak 2014. Targetnya pada 2019, rasio SMK bisa mencapai 60 persen berbanding SMA 40 persen.

Dengan memperbanyak SMK, diharapkan nantinya tersedia lulusan yang siap kerja dengan keunggulan memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja. Sayangnya, ketika pendidikan vokasi terus digenjot, ternyata hal itu malah menimbulkan masalah baru.

Ketika lulusan SMK semakin bertambah, kondisi itu tidak dibarengi dengan serapan tenaga kerja dari industri padat karya. Dampaknya, pekerja yang mengenyam pendidikan vokasi malah banyak yang menganggur.

Hal itu terungkap dari rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir 2018, yang menyebut dari tujuh juta pengangguran terbuka, sekitar 11,24 persennya merupakan lulusan SMK. Angka itu lebih tinggi dibandingkan pengangguran terbuka lulusan SMA sebanyak 7,95 persen.

Fakta tersebut jelas memprihatinkan, karena jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Pasalnya output pendidikan vokasi yang digadang-gadang menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah malah tidak terpakai industri padat karya.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Sangat mungkin pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi yang diajarkan selama tiga tahun di sekolah tidak sesuai dengan permintaan dunia kerja. Bisa jadi, kurikulum yang diajarkan di sekolah sudah ketinggalan atau malah terjadi pergeseran kebutuhan industri padat karya yang tidak diikuti perubahan metode pendidikan di kelas.

Karena kalau dunia kerja dan sektor pendidikan berjalan sendiri-sendiri maka dikhawatirkan jumlah pengangguran terdidik terus meningkat. Padahal, di sisi lain, kebutuhan tenaga kerja terampil sangat tinggi.

Untuk itu, pemangku kepentingan perlu menerapkan program keterkaitan dan kesepadanan (link and match) agar lulusan SMK dapat terpakai di dunia industri padat karya. Baik Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kemendikbud perlu menyelaraskan dan meningkatkan program supaya terjalin sinergi. Sehingga terjadi link and match antara lulusan pendidikan vokasi dan lulusan yang siap pakai di dunia kerja.

Pengembangan SDM

Kalau melihat masih banyaknya tenaga kerja yang hanya lulusan SD dan SMP maka pengembangan industri padat karya masih akan menemui jalan terjal. Sementara di sisi lain, banyak calon pekerja dengan kualifikasi pendidikan vokasi malah tidak terpakai. Mengacu hal itu, kebijakan yang tepat harus segera dieksekusi lintas kementerian agar kebutuhan industri dapat terpenuhi dengan merekrut tenaga kerja terampil, yang kapasitas itu sebenarnya sudah dimiliki lulusan SMK.

Pada fase kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, pemerintah berjanji untuk fokus meningkatkan SDM, termasuk di dunia kerja. Salah satu bidang yang harus diseriusi untuk dibenahi adalah mempercepat lahirnya pekerja terampil yang dibutuhkan industri padat karya. Kalau lulusan SMK yang selama ini belum terserap dunia kerja jumlahnya cukup banyak, hendaknya masalah itu harus ditangani secara saksama kementerian dan lembaga terkait.

Pemerintah harus memiliki niatan kuat untuk menginvestasikan APBN di bidang penguatan SDM. Bisa saja balai tenaga kerja yang selama ini kurang diperhatikan, mulai digerakkan lagi untuk mendidik lulusan SMK yang masih menunggu panggilan kerja untuk mengikuti pelatihan tambahan.

Tujuannya agar mereka semakin menguasai ahli terapan di bidangnya agar menjadi nilai plus sebagai modal memasuki dunia kerja. Tidak ketinggalan, kalau perlu lulusan pendidikan vokasi mengikuti program sertifikasi sehingga keterampilannya benar-benar terjamin dan siap pakai untuk masuk di dunia industri padat karya.

Dalam mewujudkan iklim bisnis baik bagi industri padat modal, Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) juga wajib mengambil peranan besar untuk berdiskusi dengan Kemenaker dan Kemendikbud guna mengatasi masalah itu. Sehingga, program yang diluncurkan dua kementerian itu bisa saling bersinergi guna menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus mengatasi pengangguran terdidik.

Plt Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal merangkap Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM, Yuliot mengakui, serapam tenaga kerja pada 2018 justru menurun di angka 930 ribu orang. Angka itu berbeda jauh dibandingkan pada 2013-2014, rata-rata penyerapan tenaga kerja mencapai 1,4 juta orang.

Setelah ditelaah, saat ini banyak investasi yang masuk ke industri padat modal yang minim menyerap tenaga kerja, karena cenderung menekankan penggunaan mesin. Hal itu berbanding terbalik dengan industri padat modal, yang lebih digerakkan tenaga manusia.

Sebagai lembaga yang mengurusi investasi, BKPM perlu mengambil peran strategis dalam mengarahkan investor untuk menaruh modalnya di industri padat karya. Pasalnya, jumlah lulusan SMK yang menganggur menandakan masih terbukanya ruang bagi investor untuk menaruh modalnya di industri padat karya. Apalagi, pemerintah terus memberikan insentif bagi pengusaha agar tergerak masuk di sektor tersebut.

Karena itu, BKPM memiliki peluang berkontribusi besar dalam mengurangi angka pengangguran di Tanah Air dengan mengarahkan investor agar menaruh duitnya di sektor industri padat karya daripada padat modal. Di sinilah peran pemerintah, khususnya lintas kementerian dan lembaga sesungguhnya dinantikan untuk menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja sekaligus menyerap tenaga kerja lulusan vokasi untuk mengurangi pengangguran.

*Wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement