REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Para pengungsi Wamena yang kini mengungsi di Timika, Ibu kota Kabupaten Mimika, Papua mengharapkan situasi keamanan di Wamena segera pulih. Agar mereka bisa kembali untuk berusaha di Ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu.
Sahrawi, salah seorang pengungsi Wamena saat ditemui di pengungsian di Timika, Jumat (4/10) mengatakan dia ingin segera kembali ke Wamena lantaran seluruh aset usahanya masih berada di sana.
"Kalau situasi di sana sudah aman, saya mau kembali ke Wamena. Sekarang saya fokus mengantar isteri dan anak kembali ke kampung terlebih dahulu," katanya.
Sahrawi bersama keluarganya mengungsi ke Timika pada Jumat (27/9). Saat itu sebanyak 87 pengungsi Wamena dievakuasi ke Timika menggunakan penerbangan pesawat Hercules TNI AU.
Warga kelahiran Desa Rabasan, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, itu sudah 11 tahun bermukim di Wamena dan berprofesi sebagai tukang ojek. Bersama keluarganya, Sahrawi tinggal di Gang Kingmi, Jalan Trikora, belakang Bank Mandiri Wamena.
Lokasi tempat tinggalnya luput dari amuk massa saat kerusuhan melanda Wamena Senin (23/9). Kerusuhan itu merenggut puluhan nyawa dan membakar habis ratusan bangunan milik pemerintah maupun swasta di kota itu.
"Saya masuk ke Wamena tahun 2008. Dulu bekerja sebagai penjual gorengan. Setelah isteri ikut ke Wamena, isteri membuka warung menjual makanan," tuturnya.
Saat meninggalkan Wamena untuk mengungsi ke Timika, Sahrawi mengaku menitipkan rumah serta aset berharga miliknya seperti sepeda motor kepada warga lokal (orang Wamena asli atau disebut orang Lembah Baliem).
"Saya sudah mengenal mereka sejak lama, sudah seperti saudara sendiri. Mereka katakan, yang membuat kekacauan di Wamena itu orang luar, orang dari gunung. Yang jaga rumah saya putra daerah, orang Wamena asli. Dia katakan, kamu cari selamat dulu, nanti kalau sudah kondusif baru kembali ke Wamena," ujar Sahrawi.
Pengungsi Wamena lainnya, Mariana juga berharap situasi Wamena cepat pulih. "Kita semua mengharapkan seperti itu karena kami juga mau kembali ke sana untuk bekerja," kata Mariana yang sehari-hari bekerja sebagai guru SD Inpres Kulitarik Wamena.
Mariana mengatakan keluarganya sempat mengungsi selama sepekan di Markas Koramil Wamena pascakerusuhan. "Saat pecah kerusuhan itu kami sedang upacara bendera di halaman sekolah. Tiba-tiba orang-orang tua siswa pada datang ke sekolah untuk menjemput anak-anak mereka," kata Mariana yang mengungsi ke Timika pada Selasa (1/10) bersama cucunya dan seorang kemenakannya. Mariana mengaku sudah puluhan tahun bermukim di Wamena sejak 1994.
Pengungsi lainnya, Yohanes mengaku sependapat dengan imbauan pemerintah dan aparat TNI-Polri agar para pengungsi segera kembali ke Wamena. "Seharusnya seperti itu, kalau semua pergi dari Wamena maka tentu orang yang berbuat kejahatan malah makin besar kepala," kata Yohanes yang sehari-hari bekerja sebagai ASN di Pemkab Nduga namun keluarganya (isteri dan anak-anak) bermukim di Wamena.
Sejak kerusuhan melanda Wamena pada 23 September 2019, tercatat sebanyak 223 warga non Papua mengungsi ke Timika. Sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak.
Sesuai data Kementerian Sosial RI, sejak 23 September hingga 2 Oktober 2019 tercatat sebanyak 11.646 orang pengungsi telah meninggalkan Wamena. Sebagian besar pengungsi dievakuasi ke Sentani, Jayapura menggunakan penerbangan pesawat Hercules TNI AU. Sementara di Wamena sendiri, ribuan pengungsi hingga kini masih bertahan di 34 posko.