REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana berdasarkan citra satelit Modis-catalog Lapan pada Senin (30/9), pukul 18.00 WIB, menunjukkan kualitas udara membaik. Hal ini seiring dengan turunnya jumlah titik panas atau hotspot kebakaran hutan dan lahan mencapai 673 di Sumatra dan Kalimantan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa (1/10), mengatakan, jumlah titik panas akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) cenderung turun. Kondisi ini terjadi di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Sedangkan titik panas yang terpantau masih banyak ada di Kalimantan Selatan. Namun, menurut dia, kualitas udara yang diukur dengan PM 2,5 menunjukkan level “baik”.
Data terakhir (30/9), pukul 18.00 WIB tercatat titik panas berjumlah 673. Jumlah tertinggi teridentifikasi di Kalimantan Selatan sebanyak 141, Kalimantan Tengah 63, Sumatera Selatan 63 dan Jambi 15, sedangkan Riau dan Kalimantan Barat tidak terdeteksi adanya hotspot.
Luasan hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia sejak awal 2019 yang terbakar mencapai 328.724 hektare (ha). Sementara itu, karhutla juga masih terjadi di kawasan Gunung Merbabu dan Sumbing di Jawa Tengah.
Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) terus berlangsung baik di Sumatera maupun di Kalimantan. Pada Senin (30/9), dikerahkan dua pesawat di Sumatera dan dua pesawat di Kalimantan dengan total garam yang ditabur sejumlah 9.600 kilogram.
Salah satu hasilnya hujan turun di sebagian besarwilayah Riau (Indragiri Hulu, Dumai, Pelalawan, Kuansing, Indragiri Hilir, Siak, Rokan Hulu dan Rokan Hilir), Jambi (Merangin, Sarolangin), Kalimantan Barat (Pontianak, Singkawang, Sintang, Melawi), Kalimantan Selatan (HST, HSS), dan Kalimantan Tengah (Palangkaraya, Barito Selatan dan Lamandau).
Ia mengatakan kecenderungan titik panas yang turun harus terus dipertahankan sehingga masyarakat dapat menghirup udara sehat dan beraktivitas di luar rumah. Hujan yang turun secara optimal dapat dimanfaatkan untuk membasahi gambut dengan sekat kanal dan embung.
"Gambut perlu dikembalikan ke kodratnya yaitu basah dan berair sehingga tidak mudah terbakar. Usaha pembahasan gambut ini perlu dilakukan terus-menerus sehingga tahun depan tidak terjadi kebakaran lagi," katanya.