Kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, tak hanya menyisakan cerita pilu, tetapi juga kisah keberanian warga setempat memberikan perlindungan. Sejumlah warga lokal juga bersaksi dan ikut serta melindungi para pendatang. Ketua Dewan Adat Papua Domi Surabut adalah salah seorang saksi hidup salah satu kejadian itu.
Ia menuturkan, saat kerusuhan berkecamuk pada Senin (23/9) lalu, salah satu yang jadi sasaran pembakaran adalah deretan rumah toko (ruko) di Jalan Transpapua yang melintasi Wamena, di kawasan Pasar Baru. Menjelang siang, hampir seluruh ruko tersebut telah dibakar.
Massa perusuh juga mengepung deretan ruko tersebut. Pada saat itu, Domi yang berada di lokasi bersama sejumlah warga asli Wamena lainnya mengetahui bahwa sejumlah pendatang masih terjebak di salah satu ruko. “Mereka berteriak minta tolong,” kata Domi saat dihubungi Republika, kemarin.
Domi dibantu warga Wamena lainnya kemudian mengonfrontasi masa pengepung ruko. “Saya bilang, ‘Kamorang bakar-bakar sudah, tapi biar itu yang di dalam kita bawa dulu!’” kata Domi.
Ia kemudian memerintahkan sejumlah pemuda menjemput warga yang terjebak di ruko. Di dalam ruko, mereka menemukan tiga pria dan satu perempuan yang seluruhnya tampak ketakutan. Bersama mereka juga ada seorang bayi berusia dua bulan yang terus menangis. “Kalau dari bahasa, macam mereka orang Jawa,” kata Domi.
Para penyintas itu kemudian dievakuasi menuju Gereja Katolik Bunda Maria yang terletak tak jauh dari jembatan di jalan menuju Pike, wilayah pinggiran Wamena. Di sekitar gereja, Domi bersama para pengurus gereja dan para calon pastor berjaga-jaga. “Massa tidak berani minta yang kami lindungi karena sudah di dalam gereja,” kata Domi.
Waktu berjalan, para pendatang lain juga dievakuasi ke gereja tersebut. Hingga malam tiba, kata Domi, sekitar 25 pendatang sudah di dalam gereja. “Ada pendatang, ada guru-guru, ada juga tenaga medis,” kata dia. Hampir 24 jam para pengungsi berdiam di gereja tersebut. Mereka bermalam dan kemudian keesokan harinya dijemput aparat menuju tempat pengungsian.
Kondisi di Wamena membuat sukar mengonfirmasi secara independen akurasi kesaksian itu. Kendati demikian, sejumlah pendatang lain juga bersaksi bahwa selama kerusuhan tak sedikit juga yang diselamatkan warga setempat.
Salah satunya kisah Nani Susongki asal Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang dimuat di portal berita terkemuka di Papua, jubi.co.id. Pihak pengelola portal tersebut memberikan izin untuk Republika menayangkan kisah tersebut.
Nani Susongki adalah satu dari seribuan warga Wamena yang telah meninggalkan wilayah itu selepas kerusuhan kemarin. Ia saat ini mengungsi di aula Lapangan Udara (Lanud) Jayapura. Ia mengaku bisa selamat dari amukan massa karena pertolongan seorang warga setempat yang akrab disapa Mama Manu. Kebetulan, kediaman Mama Manu persis di belakangang rumah Nani.
“Kami sembunyi di honai (rumah khas pegunungan tengah Papua—Red) Mama Manu. Kami disembunyikan di situ,” kata Nani Susongki, Sabtu (28/9)
Perempuan yang sudah 17 tahun tinggal di Wamena itu menuturkan, ia diberitahu perihal terjadinya kerusuhan pada Senin pagi oleh putrinya yang bekerja di salah satu toko gawai di Wamena. Sang putri meminta Nani tak keluar rumah.
Meski begitu, kabar meluasnya kerusuhan memaksa Nani dan beberapa anggota keluarganya meninggalkan rumahnya. Begitu keluar rumah, ia bertemu tiga orang memegang senjata tajam. Sempat berprasangka buruk, ternyata tiga warga asli Papua itu melakukan patroli untuk menyelamatkan pendatang.
“Mereka suruh kami masuk ke rumah Mama Manu. Hampir satu jam kami bersembunyi tak bersuara, bersama beberapa warga lain,” ujar wanita yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat itu.
Keberadaan Nani dan keluarganya sempat diketahui massa perusuh. Kendati demikian, Mama Manu berkeras melindungi mereka. “Mama Manu bilang tolong jangan dibakar. Itu saya punya anak. Jangan bakar mobil (milik Nani), nanti merembet ke rumah saya. Akhirnya massa meninggalkan lokasi. Kami sendiri sudah lemas, seperti tidak bisa berdiri lagi,” ucapnya.
Setelah sejam di rumah Mama Manu, kepolisian kemudian menjemput Nani dan keluarga untuk dievakuasi ke Mapolres Jayawijaya. Dari situ, Nani kemudian diberangkatkan ke Jayapura. Ia mengatakan berencana pulang ke kampung halamannya di Jawa.
Ada juga kisah Abdullah Sihanudin (40 tahun) yang sejak 2014 lalu merantau ke Wamena. Pria tersebut sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek dan agen tiket pesawat. Ia menuturkan, saat kerusuhan meletus, istrinya menyelamatkan diri bersama warga lain.
Ia tertinggal bersama seorang anaknya yang masih balita. Seperti Nani, Abdullah juga diselamatkan sejumlah orang yang mengungsikannya ke honai milik seorang warga senior yang akrab disapa Mama Lani. “Seorang ibu di belakang rumah saya yang menyelamatkan saya. Anak saya langsung dirangkaul dan Mama Lani berteriak, ‘Jangan dibunuh, Pak Dhe ini yang setiap hari membantu saya,’” kata Abdullah.
Abdullah bersembunyi di rumah Mama Lani sejak pukul jam 09.00 hingga 12.00 WIT. Abdullah dan keluarganya saat ini juga sudah berada di Jayapura dan berencana pulang ke Probolinggo. “Sudah tiga hari kami di Jayapura. Di Jayapura, saya tidak punya keluarga. Saya ingin pulang secepatnya ke kampung halaman,” ujarnya.
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Minang (IKM) Wamena Novi Zendra menuturkan, hubungan warga pendatang asal Sumatra Barat di Wamena, Papua, selama ini berjalan harmonis. Warga asli Wamena dan Papua secara umum, menurut Novi, menyukai karakter orang Minang.
"Warga Wamena asli, atau orang lembah, itu menyukai orang Minang. Mereka nyaman bekerja dengan orang Minang karena tidak diperlakukan seperti anak buah," kata Novi kepada Republika, Senin (30/9).
Novi memastikan, selama ini tidak pernah terjadi gesekan atau pertikaian antara pendatang dari Minang dan warga asli Papua. Sebab, di mana pun negeri perantauan, orang Minang selalu memegang prinsip di ma bumi dipijak, di situ langik dijunjuang.
Novi meminta semua warga Sumbar baik yang di perantauan maupun di Ranah Minang supaya tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat Papua sebagai saudara sebangsa. Novi menginginkan hubungan baik dengan warga keturunan Minang dengan warga Wamena dan Papua terus dilanjutkan.
Novi yang memang berdomisili di Wamena mengatakan, kondisi di Wamena sudah mulai kondusif. Namun, warga Minang yang saat ini mengungsi di Markas Kodim Wamena, Polres Wamena, dan daerah lainnya masih belum bisa kembali beraktivitas karena toko, rumah, dan harta benda mereka hangus terbakar.
"Trauma ya pasti. Yang bukan korban saja trauma," ucap Novi.
Novi menyebut pengungsi yang berada di Makodim dan Mapolres Jayawijaya setiap hari mendapatkan bantuan logistik, seperti makanan dan minuman, dari Pemkab Jayawijaya. Makanan dan minuman dari pemda tersebut disalurkan melalui dapur umum di lokasi pengungsian.