Senin 30 Sep 2019 14:21 WIB

Upaya Memadamkan Karhutla Tetap Membutuhkan Hujan

Memadamkan karhutla membutuhkan hujan alami serta hujan buatan.

Rep: Antara/ Red: Indira Rezkisari
Tim Satgas Gakum Karhutla Dit Reskrimsus Polda Kalsel melakukan olah TKP di lahan terbakar milik PT BIT di Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Rabu (25/9/2019).
Foto: Antara/Juhri/Bay
Tim Satgas Gakum Karhutla Dit Reskrimsus Polda Kalsel melakukan olah TKP di lahan terbakar milik PT BIT di Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Rabu (25/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia sudah cukup baik. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas namun mengatakan usaha yang bisa menghentikan karhutla skala besar hanyalah hujan.

"Usaha kita sudah cukup, semua pihak sudah berusaha dan penegakan hukum sudah jalan. Yang masalah adalah menyadarkan masyarakat atau pihak manapun untuk jangan membakar, itulah yang penting," ujar pakar tanah gambut itu ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (30/9).

Baca Juga

Menurut dia, jika api masih terbilang kecil maka masih ada kemungkinan untuk memadamkannya dengan peralatan. Tapi jika sudah membesar seperti yang terjadi baru-baru ini maka akan sangat sulit.

Upaya pemerintah dan pihak yang memiliki kewenangan untuk pemadaman, ujarnya, selain mengandalkan hujan alami harus memakai teknologi modifikasi cuaca untuk hujan buatan.

Permasalahan hujan buatan bukan hanya soal pemicu hujan berupa garam saja, tapi juga perlu adanya awan yang menjadi sumber air. Selain itu, belum tentu hujan tersebut jatuh ke tempat yang tepat.

Usaha pencegahan pembakaran, ujarnya, harus menjadi penekanan semua pihak setelah kabut asap mulai menghilang dan karhutla mulai padam setelah hujan mulai turun di daerah-daerah terdampak. Yaitu di enam provinsi, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

"Orang membakar itu karena ada lintasannya, ada keinginannya, dan mencari jalan cepat karena membuka lahan tanpa membakar itu lambat dan mahal. Dan sering orang mengatakan abu itu untuk menutrisi," ungkap Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut tersebut.

Hasil analisa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan jumlah titik api dengan confident level kurang dari 50 persen per provinsi dalam kurun waktu 21-27 September 2019 turun sampai 90 persen.

Dalam ranah penegakan hukum sendiri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menyegel 62 lahan perusahaan yang terbakar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement