REPUBLIKA.CO.ID, MAUMERE -- Keterbatasan akses menjadi salah satu penyebab kegagalan kontrasepsi sehingga program KB belum begitu efektif di Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat yang tinggal di pedalaman cenderung sulit untuk tepat waktu mengakses fasilitas kesehatan penyedia alat kontrasepsi.
"Keterbatasan akses, misalnya sudah datang, suntik kemudian pulang ke daerah yang agak pedalaman, ya suntiknya bisa telat. Ini salah satu penyebab kegagalan kontrasepsi," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo saat meninjau salah satu fasilitas kesehatan di Maumere, NTT dalam rangkaian peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia, Jumat.
Hasto mengatakan, BKKBN pun mensosialisasikan kepada ibu yang telah melahirkan dan akan pulang agar langsung memasang kontrasepsi sesuai dengan keinginan dan tanpa paksaan. Selain masalah akses, ketersediaan alat kontrasepsi juga menjadi salah satu kendala. Tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai stok alat kontrasepsi ketika ada yang membutuhkan.
"Seperti di NTT ini, alat kontrasepsi kurang, sementara di Jawa Timur berlebihan. Kami sudah minta dikirim dari Jawa Timur ke sini," kataHasto.
Begitu juga dengan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM), baik tenaga kesehatan maupun petugas KB, menurut Hasto, jumlahnya perlu ditambah. Ia menginginkan agar ada satu bidan di satu desa untuk daerah seperti NTT.
"Petugas KB di sini rasio satu banding enam, sementara nasional satu banding empat," katanya.
Kepala Perwakilan BKKBN NTT Marianus Mau Kuru mengatakan, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 angka kelahiran di NTT masih tinggi. Satu perempuan masih punya tiga hingga empat anak di NTT.
"Banyak faktor angka kelahiran di NTT masih tinggi, seperti budaya dan anggapan bahwa banyak anak banyak rezeki. Kami terus berupaya fokus menurunkan ini," kata Marianus.