REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Semburan lumpur yang keluar dari pekarangan rumah Liswati, warga Perumahan Kutisari Indah Utara III/19, Kecamatan Tenggilis Mejoyo, Kota Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (23/9), dan Kamis (26/9) pagi mulai bercampur air dan minyak. "Sudah cair banget yang keluar. Kalau kemarin-kemarin kan kental. Mayoritas air, tapi sepertinya masih ada kandungan minyak mentahnya," kata salah seorang warga setempat yang juga Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD Surabaya, William Wirakusuma di Surabaya, Jumat (27/9).
Selain itu, lanjut dia, bau gas matana juga mulai berkurang tidak seperti pada saat semburan lumpur pertama kali keluar pada Senin (23/9) lalu. Hingga saat ini masih ada dua titik semburan minyak bercampur air yang debitnya mulai berkurang.
Menurut dia, lumpur bercampur air dan minyak tersebut ditampung dalam sebuah drum. Hingga saat ini sudah terkumpul sekitar tujuh drum. Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana mengatakan pihak Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) akan memantau perkembangan semburan lumpur tersebut selama sepekan. "Debitnya mulai berkurang terus. Dalam satu minggu ini kalau bisa tutup ya ditutup," katanya.
Soal drum berisi lumpur bercampur minyak dan air, Whisnu mengatakan pihaknya menyerahkan ke pihak terkait dalam hal ini Pertamina. "Kalau itu dibuang nanti jadi polusi. Soalnya itu minyak mentah," katanya.
Sejauh ini, lanjut dia, pihaknya menduga memang Surabaya khususnya di kawasan Kutisar dahulunya merupakan bekas tambang minyak. Sehingga bisa jadi adanya semburan lumpur tersebut muncul karena itu. "Tapi sekarang tidak ada tambang minyak lagi di Surabaya. Itu muncul munkin karena kondisi panas, kemarau dan sebagainya," katanya.
Saat ditanya apakah dalam sepekan perlu relokasi warga, Whisnu mengatakan tidak perlu warga direlokasi. "Tidak sampai rekolasi, itu jelas-jelas minyak," katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya Eko Agus Supiadi sebelumnya mengatakan petugas DLH telah mengecek semburan lumpur di Perumahan Kutisari Indah Utara III Nomor 19 itu, yang kemudian dinilai bisa masuk dalam kategori berbahaya karena kualitas udara di sekitar lokasi kejadian ada peningkatan, atau tepatnya ada peningkatan suhu udara. "SO2 (Sulfur Dioksida)-nya di atas rata-rata, melebihi batas mutu," ujarnya.
Eko pun menyebut bahwa batas normal SO2 adalah 900 mikrogram per meter kubik. Sementara, dari pengukuran yang dilakukan di lokasi semburan dengan alat gas monitoring kit, kadar SO2-nya mencapai 1.396,36. Hasil pengecekan sementara juga mengandung belerang.
Selain SO2, DLH juga mengukur Nitrogen Oksida (NO), ozon permukaan (O3), dan Karbon Monoksida (CO). Hasilnya, NO hasilnya 0,0 mikrogram per meter kubik, O3 hasilnya 67,86, serta CO-nya 2.165,1. Sementara temperatur tercatat 27,9 derajat. Mengenai tindakan selanjutnya, Eko mengatakan DLH Surabaya akan terus berkomunikasi dengan tim dari Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Jatim.