REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) mengecam penangkapan terhadap aktivis HAM dan jurnalis yang juga pembuat film Sexy Killers, Dandhy Laksono. Penangkapan terhadap jurnalis dinilai mencederai demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Penangkapan Dandhy juga akan menciptakan preseden buruk bagi Indonesia yang mendapatkan buah demokrasi dari perjuangan reformasi. Untuk itu, GEBRAK mendesak Polda Metro Jaya membebaskan Dandhy Dwi Laksono.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dandhy ditangkap pada pukul 22.45 WIB di kediamannya di Bekasi. Tim dari Polda Metro Jaya yang terdiri dari 4 orang membawa Dandhy ke Polda Metro Jaya pada pukul 23.05.
Penangkapan berdasarkan pada laporan Asep Sanusi pada 24 September 2019. Dandhy dikenakan pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946 tentang hukum pidana dan/atau pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 A ayat (2) UU ITE tentang tindak pidana penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
GEBRAK melihat penangkapan ini sebagai upaya pembungkaman terhadap orang-orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, GEBRAK menganggap pasal-pasal karet dalam UU ITE ini menyasar orang seperti Dandhy yang memblejeti kebijakan pemerintah.
Seperti diketahui, Dandhy belakangan mengkritik kebijakan pemerintah terhadap Papua melalui media sosial dan debat terbuka dengan politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko. Ia juga menggunakan pengaruh di media sosial dengan pengikut 71 ribu di platform Twitter untuk mengemukakan gagasannya.