Kamis 26 Sep 2019 18:30 WIB

Masyarakat Papua Butuh Rasa Aman

Masyarakat mengarahkan para pendatang untuk berlindung di gereja.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Warga memadati Pangkalan TNI AU Manuhua Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (25/9/2019).
Foto: Antara/Iwan Adisaputra
Warga memadati Pangkalan TNI AU Manuhua Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (25/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah warga asli Papua dan para pendatang baru masih mengungsi pascakerusuhan yang terjadi di Wamena, Jayawijaya, Provinsi Papua pada Senin (23/9) lalu. Warga Papua maupun pendatang masih panik saat rusuh, kendati disebut sudah mulai mereda, mereka meminta diberikan rasa aman.

"Karena itu dari situasi rusuh ini semua panik, baik itu yang pendatang maupun pribumi itu yang harus kita berikan rasa aman," ujar Ketua Dewan Adat Papua Domi Surabat saat dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (26/9).

Baca Juga

Ia menuturkan, tokoh adat dan pemerintah daerah setempat mulai normalisasi situasi di Wamena. Termasuk mengevakuasi warga ke tempat yang aman dari tempat pengungsian bahkan ada yang tidur di hutan.

Bagi warga yang rumahnya tidak menjadi sasaran pelemparan dan pembakaran massa aksi pada kerusuhan, untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing. Baik tokoh adat maupun pemerintah daerah melakukan pendekatan kepada warga secara berbeda.

Domi menjelaskan, pemerintah pusat harus melakukan pendekatan dengan membuka diri terhadap penyelesaian secara terbuka dan komprehensif. Menurutnya, mengembalikan situasi normal di Papua agak sulit karena sewaktu-waktu kejadian rasisme bisa saja terulang .

Sebab, kata dia, rasisme merupakan persoalan besar bagi warga Papua. Isu rasisme mengakar pada setiap warga mulai dari kalangan muda hingga orang tua.

"Karena ini kan situasinya tidak 100 persen pulih jadi sewaktu-waktu bisa terjadi karena semua pihak kan belum punya kesepakatan bersama," tutur Domi.

Kemudian, pendekatan kedua, tanggung jawab semua pihak dan elemen untuk memberikan rasa aman kepada warga asli Papua maupun orang pendatang. Termasuk, lanjut dia, upaya untuk menghindari konflik horizontal antara masyarakat Papua dan pendatang tersebut.

"Sejauh ini belum ada konflik horizontal tapi ada situasi yang berkembang. Bahwa ada satu kelompok yang sedang muncul misalnya kemarin saya hari pertama, hari kedua, kemarin terus pantau tapi ada satu kelompok itu yang mengarahkan menjadi konflik horizontal," jelas Domi.

Ia mengatakan, semua pihak di Jakarta seperti Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) telah menyebut kondisi Papua aman dan damai. Akan tetapi, sejak kerusuhan Agustus lalu, masalah rasisme berujung rusuh kembali terulang di September.

"Menko Polhukam semua orang di Jakarta, Papua sudah aman, sudah damai. Tapi kondisi hari ini kan muncul lagi, tapi situasi untuk rasa aman kepada pendatang dan lain-lain itu pasti tanggung jawab semua," ungkapnya.

Domi menambahkan, saat kerusuhan pada Senin lalu itu baik warga asli Papua maupun pendatang sama-sama panik. Masyarakat adat pun mengarahkan pendatang masuk lingkungan gereja untuk tinggal sementara agar aman

"Mereka harus berlindung ke gereja lalu setelah itu kita antar ke pihak yang berwajib bagaimana untuk mereka dilindungi," kata Domi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement