Rabu 25 Sep 2019 10:58 WIB

Karhutla Ancam 10 Juta Anak Indonesia

Polusi udara dapat berdampak pada bayi sejak dalam kandungan.

Matahari pagi berwarna kemerahan akibat sinarnya menembus kabut asap karhutla di Banda Aceh, Aceh, Selasa (24/9/2019).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Matahari pagi berwarna kemerahan akibat sinarnya menembus kabut asap karhutla di Banda Aceh, Aceh, Selasa (24/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk anak-anak, Unicef, menyoroti kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia. Menurut Unicef, karhutla di Kalimantan dan Sumatra mengancam kesehatan 10 juta anak Indonesia di bawah 18 tahun karena menghirup udara yang tercemar kabut asap.

Seperti dikutip dari laman resmi Unicef, Selasa (24/9), Unicef menyatakan anak-anak kecil sangat rentan terhadap polusi udara. Ini karena anak-anak bernapas lebih cepat dan sistem imun yang belum sempurna.

Baca Juga

Dari 10 juta anak Indonesia yang kesehatannya terancam, Unicef memperkirakan ada sebanyak 2,4 juta balita yang tinggal di daerah paling terdampak kabut asap karhutla. Perwakilan Unicef untuk Indonesia Debora Comini mengatakan, kualitas udara yang buruk menjadi salah satu permasalahan berat di Indonesia.

"Setiap tahun jutaan anak menghirup udara beracun yang mengancam kesehatan mereka dan menyebabkan mereka tak bersekolah, mengakibatkan kerusakan fisik serta kognitif seumur hidup," ujar Comini.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kata Comini, lebih dari 46 ribu sekolah dan 7,8 juta siswa terdampak kabut asap. Kegiatan belajar dan mengajar pun terpaksa diliburkan di daerah terdampak. Unicef menyebut, kondisi ini telah merampas kesempatan anak-anak untuk belajar.

Unicef juga memperingatkan, polusi udara dapat berdampak pada bayi sejak dalam kandungan. Penelitian menunjukkan, bayi yang lahir dari ibu yang terpapar polusi tingkat tinggi selama kehamilan memiliki potensi lebih besar mengalami masalah pertumbuhan saat dalam kandungan, bobot lebih rendah, dan lahir prematur.

Media Singapura Straits Times melaporkan, Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus yang merupakan bagian dari program pengamatan bumi Uni Eropa mencatat, sepanjang tahun ini, karhutla di Indonesia telah melepaskan karbon dioksida yang hampir sama banyaknya seperti kebakaran pada 2015. Sejak awal Agustus hingga 18 September, kebakaran telah merilis 360 megaton gas rumah kaca.

Pada 2015, kebakaran hutan Indonesia memproduksi 400 megaton gas rumah kaca. Satu megaton setara dengan satu juta ton. Menurut World Resources Institute, pada puncak krisis 2015, kebakaran hutan di Indonesia mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca ke atsmosfer setiap harinya daripada semua aktivitas industri serta ekonomi Amerika Serikat (AS).

Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) berharap pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencegah risiko akibat kabut asap. Fasilitator MDMC Abdul Malik menyarankan pemerintah melakukan evakuasi, terutama ibu-ibu dan anak-anak ke safe house.

Abdul mengatakan, bencana asap memiliki dampak yang sangat buruk bagi ibu dan janinnya. "Bahkan, menurut riset tersebut (Unicef), anak yang lahir pada 1997 mengalami pengurangan tinggi sekitar 3 cm dibandingkan anak lainnya," kata dia ketika ditemui Republika di kantor eksekutif Walhi, Jakarta, Selasa (24/9).

Ia mengatakan, pemerintah semestinya bisa meyakinkan masyarakat untuk berlindung ke tempat lain. Pasalnya, masyarakat masih enggan untuk mengevakuasi diri karena ketakutan harta benda mereka dijarah. "Belum ada upaya dari pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada warga," ujar dia.

photo
Seorang anak yang menderita sesak nafas akibat asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tertidur di pelukan ayahnya saat menjalani pengobatan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Kota Pekanbaru, Riau, Senin (23/9/2019).

Kualitas udara di berbagai daerah masih buruk akibat karhutla. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menyebut, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Provinsi Jambi tahun ini lebih buruk dibandingkan 2015. "Hal ini berdampak pada kesehatan. Catatan ISPU tahun 2019 lebih jelek dibandingkan tahun 2015," kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam keterangan tertulis, kemarin.

Doni yang sedang meninjau penanganan karhutla di Jambi menyampaikan, asap di Jambi sangat pekat karena lebih dari 5.000 hektare area adalah lahan gambut yang kedalamannya cukup dalam. Di beberapa tempat, api ada yang berada di dalam tanah dengan kedalaman 5 meter.

Data BMKG hingga 23 September 2019 menunjukkan, ISPU (partikulat PM10) terburuk Jambi adalah 173 atau tidak sehat yang terjadi pada 2015. Sementara tahun ini, nilai ISPU terburuk Jambi mencapai 411 atau berada pada level berbahaya.

Ia berharap semua pihak mau mengedepankan pencegahan karhutla. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dan water bombing tidak serta-merta dapat mengatasi karhutla. "Hanya alam yang dapat mengatasinya, yakni hujan," ujarnya.

Doni bersyukur TMC membuahkan hasil. Kemarin pagi, kata dia, hujan kembali mengguyur sebagian wilayah Jambi. "Saya mendapat laporan sudah delapan kabupaten yang mengalami hujan," kata dia.

Strategi selanjutnya adalah menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat secara langsung. Kemudian, melibatkan pemuka agama dan untuk mengimbau masyarakat setempat agar tidak lagi membuka lahan dengan cara membakar.

photo
Warga berada di pekarangan rumahnya yang diselimuti kabut asap karhutla, Puding, Kumpeh Ilir, Muarojambi, Jambi, Ahad (22/9/2019).

Kapusdatin Humas BNPB Agus Wibowo menyampaikan, TMC berhasil menurunkan hujan di beberapa daerah terdampak karhutla. Selain Jambi, hujan turun di Sumatra Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Kalimantan Selatan (Kalsel). "Pagi ini sekitar jam 6 dilaporkan Jambi diguyur hujan ringan," ujar Agus, Selasa (24/9).

Hujan yang mulai mengguyur wilayah terdampak karhutla disebut membuat kabut asap mereda. "Asap di Kalimantan dan Sumatra relatif berkurang dan tidak sepekat sebelumnya. Tetapi, asap juga menyebar ke wilayah yang lebih luas, yaitu ke Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh," kata dia. n kamran dikarma/rr laeny sulistyawati, ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement