REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Anak-Anak PBB (UNICEF) mengatakan polusi udara serta kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra telah menempatkan 10 juta anak dalam risiko.
Menurut UNICEF sebanyak 10 juta anak, sekitar seperempatnya berusia di bawah lima tahun, tinggal di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak kebakaran hutan Sumatra dan Kalimantan. "Kualitas udara yang buruk adalah tantangan yang berat dan terus berkembang untuk Indonesia," kata perwakilan UNICEF untuk Indonesia Debora Comini, dilaporkan laman the Straits Times, Selasa (24/9).
"Setiap tahun jutaan anak menghirup udara beracun yang mengancam kesehatan mereka dan menyebabkan mereka tak bersekolah, mengakibatkan kerusakan fisik serta kognitif seumur hidup," ujar Comini.
Menurut UNICEF, anak-anak dengan sistem imun yang belum berkembang sangat rentan terhadap kabut asap dan polusi udara. Sementara kaum ibu yang terpapar polusi atau kabut asap selama masa kehamilan berpotensi melahirkan lebih awal dan dengan bobot bayi lebih ringan.
Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus, bagian dari program pengamatan bumi Uni Eropa mengatakan, sepanjang 2019, kebakaran hutan di Indonesia telah melepaskan karbon dioksida yang hampir sama banyaknya seperti kebakaran pada 2015. Sejak awal Agustus hingga 18 September, kebakaran telah merilis 360 megaton gas rumah kaca.
Pada 2015, kebakaran hutan Indonesia memproduksi 400 megaton gas rumah kaca. Satu megaton setara dengan satu juta ton. Menurut World Resources Institute, pada puncak krisis 2015, kebakaran hutan di Indonesia mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca ke atsmosfer setiap harinya daripada semua aktivitas industri serta ekonomi Amerika Serikat (AS).