REPUBLIKA.CO.ID, JAYAWIJAYA -- Kondisi di Wamena, Jayawijaya, Papua, pascakerusuhan pada Senin (23/9) disebut sudah mulai mereda. Kendati demikian, gelombang pengungsian masih terus mengalir meninggalkan kota.
"Ini masih banyak yang baru jalan ke kampung-kampung. Sudah dari kemarin siang mereka mengungsi," kata Ketua Dewan Adat Papua Domi Surabut kepada Republika, Selasa (24/9).
Ia menuturkan, Forum Komunikasi Pemimpin Daerah (Forkominda) Wamena telah melakukan pertemuan dan menyepakati perlunya menenangkan suasana. “Kami sudah mengimbau mereka supaya tinggal di Wamena, tapi mereka ketakutan, jadi kami merelakan,” kata dia melanjutkan.
Domi juga menegaskan, bila kerusuhan pada Senin (24/9), telah menimbulkan keresahan dan kepanikan baik bagi warga asli Papua maupun warga pendatang. Sejak Senin siang, masing-masing kelompok tersebut sudah mulai bergerak ke pengungsian.
Warga pendatang mengungsi di dekan kodim dan polres setempat.
Sementara warga asli Papua berjalan kaki menembus hutan menuju kampung-kampung mereka. "Semua panik, ada yang bergerak ke Yalimo, ke Lanny Jaya, Tolikara, dan Mamberamo Tengah. Jadi, lintas kabupaten," kata Domi.
Di wilayah pegunungan tengah Papua, Wamena memang termasuk wilayah paling ramai dan ditinggali suku-suku dari berbagai wilayah di sekitarnya. Domi mengatakan, para pengungsi pergi dengan keadaan seadanya. “Makanaannya mungkin nanti cari di hutan,” kata dia.
Domi tak bisa memastikan berapa jumlah warga yang mengungsi. Namun, dalam perkiraannya, sekitar 60 persen warga asli Papua meninggalkan kota. “Jadi kota sudah dikosongkan walau keadaan sudah kondusif,” ujarnya.
Domi mengatakan, selepas kerusuhan pasukan keamanan tambahan juga diterjunkan di Papua. Sekitar seribu pasukan TNI-Polri tiba diwilayah itu sejak Senin malam hingga Selasa pagi.
“Di satu sisi, penambahan pasukan ini membuat warga pendatang lebih tenang. Tapi untuk warga asli Papua mereka panik. Makanya mereka mengungsi,” kata Domi.
Ia meminta ada pendekatan lain untuk menjaga kondusivitas di Wamena selepas kerusuhan. “Bisa didekati itu kepala suku-kepala suku. Itu belum pernah dilakukan,” ujar Domi.
Kerusuhan meletus di Wamena menyusul aksi yang dipicu kabar soal tindakan rasialis seorang guru di wilayah itu. Ratusan siswa SMK/SMK yang kebanyakan berseragam menuntut guru terkait diproses hukum.
Dalam perjalanan aksi, menurut Domi, para peserta unjuk rasa menjadi emosional dan melakukan pelemparan terhadap sejumlah bangunan. Tindakan itu dibalas aparat keamanan dengan tembakan gas air mata dan penembakan.
Aksi kemudian berujung ricuh dan massa melakukan pemekaran terhadap sejumlah gedung pemerintahan dan toko-toko. Menurut Domi, pihaknya mencatat sebanyak 23 warga meninggal dalam aksi kericuhan itu. “Tidak bisa kami pastikan berapa yang orang asli Papua dan berapa yang pendatang karena akses ke rumah sakit dibatasi,” kata dia.
Sementara itu, aparat kepolisian dan TNI menyatakan mengalami kesulitan menyediakan logistik bagi sekitar 4.500 pengungsi yang berada di sejumlah titik pascakerusuhan. Dandim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Candra Dianto di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Selasa, mengatakan, masyarakat mengungsi ke Kodim, Polres, DPRD, Koramil, dan sejumlah gereja.
"Belum ada data pasti tetapi kurang lebih sekitar 4.500 orang. Terkait masalah pengungsi juga ada kesulitan masalah logistik. Tetapi, kita upayakan tempat tinggal, kemudian sumber logistik yang ada di kodim kita gunakan untuk pengungsi," katanya. Dandim memastikan telah dibangun tenda darurat di halaman Kodim untuk pengungsi bermalam, termasuk membuat dapur umum.
Kapolres Jayawijaya Ajun Komisari Besar Polisi Tonny Ananda Swadaya mengatakan, jumlah pasti pengungsi akan diupayakan hari ini, Selasa, (24/9). "Tetapi, pemda juga telah mengambil langkah di mana setiap pengungsian ada dapur umum," katanya. Tonny mengatakan, situasi sudah kondusif, tetapi aparat tetap siaga agar tidak lagi terjadi pengerahan massa.