REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pemerintah Provinsi Riau menetapkan status darurat pencemaran udara karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Status itu ditetapkan karena kualitas udara di Riau memburuk dalam beberapa hari terakhir gara-gara kabut asap yang pekat.
Di media sosial, beberapa akun menyebarkan foto situasi di Pekanbaru dan beberapa daerah lainnya yang menunjukkan udara berwarna oranye pekat atau kuning pekat, tanda penuh dengan asap karhutla dan berbahaya bagi manusia.
"Mulai hari ini kita tetapkan keadaan darurat pencemaran udara di Provinsi Riau," kata Gubernur Riau Syamsuar di Kota Pekanbaru, Senin pagi.
Status darurat pencemaran udara akan diberlakukan hingga Senin (30/9). Jika kabut asap tak kunjung membaik, status darurat akan diperpanjang.
Syamsuar mengatakan, Pemprov Riau segera menyiapkan tempat evakuasi bagi warga yang rentan terkena dampak asap karena pencemaran udara dengan diberlakukannya status darurat pencemaran udara. "Misalnya untuk anak-anak, termasuk ibu-ibu hamil dan orang tua yang asma, akan dirujuk ke rumah sakit," kata Syamsuar.
Kondisi kabut asap di Riau terus memburuk dalam beberapa hari terakhir. Kabut asap pekat membuat jarak pandang di Pekanbaru pada kemarin pagi hanya 500 meter. Alat pemantau polutan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, angka pencemaran partikel PM10 sejak Ahad (22/9) malam hingga Senin pagi berkisar pada 500 hingga 700. Angka itu sudah jauh di atas kategori berbahaya.
Kualitas udara dikategorikan berbahaya jika nilai indeks standar pencemar udara (ISPU) melebihi 300. ISPU yang sudah mencapai level berbahaya dapat menimbulkan gangguan kesehatan serius.
Sementara, berdasarkan data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatra KLHK yang diterima Republika, ada enam kabupaten/kota yang kualitas udaranya berada di level berbahaya pada Ahad (22/9). Selain Pekanbaru, lima daerah lainnya adalah Siak, Kampar, Dumai, Rokan Hilir, dan Bengkalis.
Selain karena karhutla di Riau, kabut asap di Pekanbaru kian pekat karena mendapatkan kiriman dari Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan (Sumsel). Kedua provinsi itu dilanda kebakaran lebih besar daripada Riau.
Berdasarkan data BMKG Pekanbaru, pantauan satelit Terra/Aqua pada Senin (23/9), pukul 06.00 WIB, terdapat 1.591 titik panas yang menjadi indikasi karhutla di Sumatra. Daerah dengan titik panas paling banyak adalah Provinsi Sumatra Selatan sebanyak 675 titik, Jambi 505 titik, dan Riau 256 titik.
Seorang anak mengungsi di posko kesehatan Balai Rehabilitasi Sosial Anak di daerah Rumbai, Riau.
Kabut asap karhutla membuat jumlah penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Riau meningkat. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Riau Mimi Nazir mengatakan, sepanjang 1-22 September 2019 terdapat 34.083 kasus penderita ISPA di daerah berjulukan Bumi Lancang Kuning. "Terjadi peningkatan dibandingkan bulan Agustus yang sekitar 29 ribu kasus," kata Mimi.
Mimi menjelaskan, sejak kabut asap karhutla mulai pekat menyelimuti Riau, khususnya Kota Pekanbaru, Pemprov Riau sejak awal September sudah membuka posko kesehatan di semua puskesmas serta rumah sakit umum daerah dan swasta. Pemerintah daerah juga membuka 15 rumah singgah untuk warga yang dilengkapi dengan tenaga medis dan obat.
"Di rumah singgah disediakan dokter, perawat, obat-obatan, dan tabung oksigen untuk warga yang membutuhkan," katanya. Berdasarkan pantuan, makin banyak warga, khususnya anak-anak, yang sakit akibat polusi asap sudah berbahaya. Asap sudah terasa hingga ke dalam bangunan, melalui ventilasi rumah, meski di ruangan berpendingin udara (AC).
"Anak makin lemah, tidak mau makan dan panasnya tinggi sampai kejang-kejang. Akhirnya, terpaksa dibawa ke rumah sakit dan kata dokter di tubuhnya banyak bakteri karena asap," kata seorang warga Pekanbaru, Ferdian, di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Eria Bunda.
Anaknya yang berusia tiga tahun kini harus diinfus karena kurang cairan dan menjalani pengobatan nebulizer empat kali dalam sehari untuk mengeluarkan dahak yang menggumpal di saluran pernapasannya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan, pergerakan asap akibat karhutla cukup dominan menuju arah Pekanbaru hingga memengaruhi kualitas udara di daerah tersebut. Agus mengatakan, Riau mendapatkan asap kiriman dari Sumatra Selatan dan Jambi.
"Titik api di Riau sebenarnya sedikit, yakni hanya di pinggir-pinggir sekitar pantai. Namun, suplai asap banyak mengarah ke sana," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Agus Wibowo di Jakarta, Senin (23/9).
Seorang anak yang menderita sesak nafas akibat asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tertidur di pelukan ayahnya saat menjalani pengobatan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Kota Pekanbaru, Riau, Senin (23/9/2019).
Secara keseluruhan, kualitas udara di sejumlah daerah di Sumatra dan Kalimantan masih berstatus berbahaya. Data BMKG pada Senin menyatakan, konsentrasi PM10 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikrometer masih tinggi di sejumlah wilayah yang terdampak kabut asap karhutla. Hal itu membuat kualitas udara masih berbahaya.
Di ibu kota Sumatra Selatan, Palembang, kualitas udara berada di status berbahaya dengan konsentrasi partikulat M10 mencapai 631,94 mikrogram/meter kubik. Meski demikian, konsentrasi PM2,5 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer, masih di bawah nilai ambang batas.
Sementara, di Sampit, Kalimantan Tengah, kualitas udara juga menunjukkan status berbahaya dengan kandungan PM10 mencapai 588,78 mikrogram/meter kubik. Sedangkan, kualitas udara di Jambi tergolong tidak sehat dengan kandungan PM10 sebanyak 241,01 mikrogram/meterkubik.