Selasa 24 Sep 2019 04:11 WIB

Ini Kritik Pencegahan dan Penanggulangan Karhutla

Penanganan Karhutla masih tertolong oleh curah hujan yang tinggi

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan menyelimuti Kota Lhokseumawe, Aceh, Rabu (18/9/2019).
Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan menyelimuti Kota Lhokseumawe, Aceh, Rabu (18/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dinilai masih jauh dari efektif. Curah hujan yang tinggilah penyebab seolah karhutla teratasi.

"Dalam beberapa rapat dengan dirjen-dirjen terkait seusai karhutla 2015, saya sampaikan sistem pencegahan dan penanggulangan karhutla kita masih jauh dari efektif,” kata Ketua Umum Indonesian Foresty Certification Cooperation (IFCC) yang berafiliasi ke PEFC Jenewa, Dradjad Wibowo, kepada Republika.co.id, Senin (23/8) malam.

Kalau kelihatannya karhutla teratasi, kata Dradjad, itu karena curah hujan sedang tinggi. Dradjad mengatakan jika kekeringan memburuk, ia yakin Indonesia akan terkena bencana asap lagi. "Sekarang hal ini terbukti, padahal El Nino 2019 tidak separah 2015,” ungkapnya.

Penanganan karhutla tidak efektif disebabkan,  sejak karhutla 2015, yang menjadi kebijakan andalan adalah menghukum perusahaan yang dituduh sebagai pelaku karhutla. Itu dianggap sebagai bukti pemerintah sudah tegas dan bekerja.

"Tindakan hukum jelas sangat penting. Tapi saya melihat langkah hukum lebih kental publisitasnya dari pada efektifitasnya. Apalagi jika yang ditindak adalah dari grup besar. Publisitasnya heboh sekali,” papar Dradjad, yang juga politisi PAN tersebut.

Namun, jika karhutla sudah terjadi, tindakan hukum tidak membuat api padam. Justru ketersediaan air yang lebih krusial.

Itu hal mendasar yang terbaikan. Dikatakannya, tidak sedikit kasus di mana aparat sudah siap, tapi air tidak ada. Kalaupun ada, lokasinya jauh dan jumlahnya sedikit.

Jadi, menurut Dradjad, hal pertama yang harus dilakukan adalah membangun sebanyak mungkin tempat penyimpanan air di daerah rawan kebakaran. Ketika curah hujan tinggi, air menjadi rahmat Allah yang terbuang percuma.

"Seharusnya, air kita tampung untuk dipakai saat kekeringan. Ini rumus sederhana dari Nabi Yusuf as,” ungkap politikus yang juga ekonom tersebut.

Kedua, personel, peralatan dan anggaran harus cukup, baik jumlah maupun jenisnya. Bagaimana bisa memadamkan api kalau pesawat pengebom air sangat terbatas? Bahkan tidak jarang negara “mengemis” agar perusahaan yang menyewa.

"AS dan Australia yang punya banyak pesawat saja kewalahan menghadapi karhutla. Apalagi Indonesia dengan sumber daya minim? Saya berharap dalam APBN 2020 anggaran karhutla ini dibuat cukup,” kata Dradjad.

Ketiga, lanjut Dradjad, perlu ada pengendalian pembakaran lahan. Membakar adalah teknis persiapan lahan yang paling gampang, murah dan efektif.

"Karena sulit mencegahnya, mungkin kita perlu mengaturnya melalui rotasi pembakaran per satu wilayah ekologis. Jangan per kabupaten. Tapi wilayah ekologis yang menjadi basisnya. Saya tidak tahu apakah ini akan berhasil. Tapi hemat saya, layak dicoba,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement