Selasa 24 Sep 2019 03:11 WIB

Menggapai Generasi Sehat Melalui Intervensi Pangan dan Gizi

Problematika kurang gizi peserta didik umumnya terjadi di sebagian Asia Tenggara.

Anak-anak melihat jajanan pada kantin sehat di sekolah Juara, Cakung, Jakarta, Kamis (4/12).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Anak-anak melihat jajanan pada kantin sehat di sekolah Juara, Cakung, Jakarta, Kamis (4/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Hampir 93 persen anak didik kami saat mulai masuk belajar tahun pertama menderita anemia. Kondisi itu selalu mewarnai hampir setiap tahun ajaran baru," demikian disampaikan Ir Itasia Dina Sulvianti, MS, dosen Insitut Pertanian Bogor.

Ia mengemukakan itu kepada Antara di sela-sela penyelenggaraan pertemuan tahunan Governing Board Meeting (GBM) ke-9 program "Gizi Untuk Prestasi" Organisasi Menteri-Menteri Pendidikan se-Asia Tenggara pada Pusat Regional Asia Tenggara untuk Pangan dan Gizi (Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON), yang dipusatkan di Bogor pada 22-26 September 2019.

Pada Senin (23/9), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) WikramaKota Bogor, Jawa Barat --di bawah Yayasan Pendidikan Perguruan Wikrama Indonesia dengan pembina Itasia Dina Sulvianti-- dikunjungi delegasi 11 negara ASEAN yang sedang mengikuti pertemuan SEAMEO REFCON itu.

SMK Wikrama dipilih menjadi tempat yang dikunjungi delegasi 11 negara Asia Tenggara yang sedang melaksanakan pertemuan tahunan SEAMEO REFCON karena memiliki sejumlah program yang baik tentang pangan dan gizi bagi peserta didiknya.

Kembali ke persoalan umum bahwa tidak sedikit anak didik di sekolah yang mengalami anemia, dalam literatur umum kesehatan anemia umum disebut sebagai kurang darah.

Anemia adalah kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah yang sehat atau ketika sel darah merah tidak berfungsi dengan baik. Anemia terjadi ketika kadar hemoglobin, yakni bagian utama dari sel darah merah yang mengikat oksigen, berada di bawah normal.

Dampak dari kondisi itu, organ tubuh tidak mendapat cukup oksigen, sehingga membuat penderita anemia pucat dan mudah lelah, serta malahan bisa seseorang pingsan.

Kondisi anemia dapat terjadi sementara atau dalam jangka panjang dengan tingkat keparahan yang bisa ringan sampai berat.

Kebun sekolah

Dalam diskusi pada rangkaian acara bertajuk ""SEAMEO REFCON Governing Board Member Visit for Nutrition Goes to School Program", perwakilan dari tiga sekolah dihadirkan untuk memberikan kesaksian mengenai program gizi dan pangan mereka.

Sekolah itu, selain dari SMK Wikrama yang mewakili Kota Bogor, adalah SMK Geo Informatika dan SMK Farmasi Galeniumdi Kecamatan Ciampea, di mana keduanya dari Kabupaten Bogor.

SMK Geo Informatika dan SMK Farmasi Galeniumadalah sekolah yang sudah terlebih dahulu mendapat intervensi program dari SEAMEO REFCON. Mereka memaparkan program peningkatan gizi melalui kegiatan seperti kebun sekolah yang ditanami aneka sayur dan buah-buahan.

Selain itu, dengan intervensi program guru-guru di sekolah itu mendapatkan pelatihan dari SEAMEO REFCON tentang beragam upaya untuk mengolah dan memasak bahan makanan dengan prinsip gizi yang baik.

"Kalau kami di SMK Wikrama, sebenarnya sudah lama melakukan kegiatan peningkatan gizi," kata Kepala SMK Wikrama Iin Mulyani, S.Si.

Untuk kebun sekolah, kata dia, seluruhnya dikelola semua pelajar melalui program "Competence Based Training" (CBT), seperti menanam sayuran dan buah-buahan dan tatkala panen kemudian diolah bersama untuk kemudian dikonsumsi bersama secara internal sekolah

Tak hanya itu, SMK Wikrama melatih guru dan staf dalam konteks pelatihan untuk pelatih (training for trainer/TOT), di mana mereka kemudian melatih para orang tua pelajar untuk mengolah dan menyajikan makanan di rumah sebagaibekal sekolah putra-putrinya dengan standar gizi seimbang.

Selanjutnya, program "Kantin Sekolah" yang juga dikelola pelajar melalui kewirausahaan. Kantin itu juga menerima menu dari penjaja makanan yang dipasok dari luar --khususnya warga sekitar sekolah-- namun dengan penetapan standar sehat.

"Pemasok makanan di kantin dari luar sekolah adalah mereka yang sudah berkomitmen tentang kriteria sehat, seperti bebas plastik, bebas zat adiktif dan berbahaya. Pun juga patokan air bersih yang juga masuk kriteria," katanya.

Ada juga pengelola sampah menjadi kompos, rumah jamur --yang dikembangkan dari program bantuan Organisasi Menteri-Menteri Pendidikan se-Asia Tenggara pada Pusat Regional Asia Tenggara untuk Biologi Tropika (SEAMEO-BIOTROP)-- dan program lingkungan hidup lainnya yang menunjang sistem kehidupan sehat di sekolah itu.

Delegasi dari Filipina Dr Maria Corazon Dumlaoyang mengepalai program kesehatan sekolah di Kementerian Pendidikan negara itu, memberikan apresiasi atas upaya-upaya peningkatan gizi dalam beragam bentuk yang dilakukan di Indonesia.

Ia mempertanyakan apakah ada yang mencatat nilai ekonomi dari kegiatan kebun sekolah, program sanitasi sekolah, dan pengelolaan penjaja makanan di sekolah.

Dari sekolah

Menurut Direktur SEAMEO REFCON dr Muchtaruddin Mansyur, Ph.D., problematika  kurang gizi pada peserta didik di sekolah umumnya hampir terjadi di negara-negara di Asia Tenggara.

"Masalah gizi pada anak-anak hampir sama, hanya ada perbedaan tertentu, seperti di Singapura dan Malaysia, yang terjadi adalah obesitas," katanya.

Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, menjelaskan bahwa lokus program pihaknya ada di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Sambas (Kalbar), Malang (Jatim), Bandung dan Bogor (Jabar), Jambi (Sumatera), dan bahkan juga di DKIJakarta sendiri yang notabene Ibu Kota negara.

"Program-program kami disesuaikan dengan kebijakan dari pemerintah," katanya.

Ia menegaskan bahwa untuk mengubah paradigma budaya sehat mesti harus dilakukan sejak lingkungan anak, guru, dan sekolah karena lebih mudah untuk dilakukan.

Pada gilirannya, jika sudah tercipta kondisi ideal di lingkup pendidikan maka akan bisa ditularkan pada komunitas lebih luas di masyarakat.

Dari program SEAMEO REFCON yang sudah dijalankan selama ini, ada dampak signifikan, di antaranya pelajar punya aktivitas fisik yang baik karena sudah memahami kebutuhan gizi seimbang.

Bagi Itasia Dina Sulviantiyang sudah puluhan tahun malang melintang dalam gagasan dan aksi nyata dunia pendidikan, pemahaman gizi seimbang tidak harus berarti asupan bahan makanan mesti mahal.

"Bagaimana dengan sekolah-sekolah yang peserta didiknya dari kalangan menengah ke bawah, seperti pengalaman kami di mana anak-anak 93 persen pada tahun pertama kondisinya anemia? Jadi perlu kreativitas dan kolaborasi antarpihak untuk menanganinya," kata pendidik yang beberapa kali diundang ke kegiatan UNESCO dan lembaga internasional lainnya itu untuk memaparkan isu lingkungan dan kesehatan tersebut.

Kini, "kebun sekolah", "kantin sehat" di sekolah, dan program sejenis dengan nama lainnya namun dengan substansi yang sama untuk upaya pemenuhan dan peningkatan sekolah agaknya bisa menjadi model keberlanjutan dan penularan untuk dilaksanakan di negara-negara Asia Tenggara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement