Selasa 24 Sep 2019 03:27 WIB

TIDI Nilai Positif Bela Negara dalam RUU PSDN

Pelatihan bela negara yang akan menjadi komponen cadangan bersifat sukarela.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Latihan Militer
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Latihan Militer

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The Indonesian Democracy Initiative (TIDI)  menilai positif RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang telah disepakati oleh Menteri Pertahanan dan DPR RI.

Direktur Eksekutif TIDI Arya Sandhiyudha menilai, RUU ini baik dari sisi proses dan muatan pembahasan. Semua prinsip masukan masyarakat sipil terkait demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan supremasi sipil juga masuk dalam RUU ini.

Baca Juga

"Kedua pihak, baik Pemerintah (Kementrian Pertahanan) maupun DPR RI (Komisi I) sangat akomodatif dan peka terhadap aspirasi yang berkembang," ujarnya dalam keterangan pers, Selasa (24/9).

Arya menanggapi bahwa RUU ini sudah sukses mengakomodasi aspirasi ketika telah memasukkan penegasan bahwa pelatihan bela negara yang akan menjadi komponen cadangan (komcad) sifatnya sukarela, bukan wajib. Ia berpendapat, Indonesia memang lebih tepat memilih model voluntary (sukarela) seperti di Kanada, Inggris, dan Australia.

Negara yang menerapkan wajib militer, lanjut Arya, biasanya punya 2 alasan, pertama adalah ukuran geografis dan populasinya sangat kecil seperti Singapura. Bisa juga punya persepsi potensi perang yang sangat tinggi, diantaranya seperti Mesir, Israel, Turki, Iran, Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Rusia.

“Di semua negara begitu, termasuk negara-negara demokrasi. Kalau nggak mau ya jangan daftar Komcad. Justru itukan tujuannya seorang mendaftar Komcad,”  kata Arya.

Menurutnya, mobilisasi dalam RUU ini juga telah diatur sedemikian rupa, “Mobilisasi hanya dalam darurat dan dalam proses pembahasan RUU akhirnya dimasukkan klausul musti ada persetujuan DPR RI,” ujar dia.

Arya  menilai, prinsip sukarela untuk menjadi Komcad sudah cukup dianggap menghormati HAM. Pembatasan lain yang juga memenuhi unsur HAM adalah Komcad sendiri memiliki Batasan waktu, atau tidak berlangsung terus-menerus.

Masalah pembiayaan dari sumber selain APBN dan APBD, alumni Istanbul University, Turki itu melihat dan sepakat, bahwa pembiayaan harus diikat dengan mekanisme APBN. “Jadi Kementerian Keuangan nanti musti membuat Peraturan Menteri (Permen) untuk mengatur mekanisme. Pembiayaan sumber lain tidak boleh berjalan sebelum Permen itu dikeluarkan dan disahkan,” tambahnya.

Namun di sisi lain, sambungnya, ini justru membuka peluang warga negara untuk berpartisipasi, misalnya pihak swasta dapat ikut menyukseskan pendidikan bela negara tanpa musti membebankan APBN. “Ini adalah ruang partisipasi publik yang sangat positif dalam agenda bela negara,” katanya.

Arya melihat, di luar kekhawatiran kelompok masyarakat sipil tersebut, sejumlah poin perbaikan dari Draft awal Pemerintah juga telah memperkaya muatan menjadi jauh lebih maju dan progresif dalam ukuran demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil.

Diyakini oleh Arya, masuknya asas proporsionalitas itu juga bagus sekali. Asas itu untuk memastikan bahwa tindakan negara dalam melakukan mobilisasi harus proporsional. “Asas proporsionalitas ini juga yang kerap digunakan oleh pengadilan HAM Internasional,” jelasnya.

Poin lain yang juga positif, menurut Arya, terdapat muatan baru yang disepakati dalam pembahasan RUU ini yang menegaskan urgensi optimalisasi sumber daya nasional selain untuk ancaman nyata seperti Separatisme, namun juga untuk ancaman terkini.

“Draft awalnya hanya ancaman militer dan non-militer, namun RUU terkini lebih aktual menyepakati hybrid threats, artinya serangan siber, disinformasi, tekanan ekonomi, pengiriman sekelompok pasukan non-militer juga dimasukkan dalam konsideran. Sebab memang tipe ancaman pertahanan sudah demikian berubah dari aspek kecepatan, skala, dan intensitas,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement