Ahad 22 Sep 2019 12:15 WIB

Anggota Dewan Usul Karhutla Jadi Extra Ordinary Crime

Viva Yoga menyebut pembakaran hutan dengan motif land clearing sama dengan teorisme.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Viva Yoga Mauladi.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Viva Yoga Mauladi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi meyakini 99 persen peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karthutla) di beberapa provinsi disebabkan oleh kesengajaan sejumlah pihak dengan motif land clearing. Ia mengusulkan pun agar pelaku pembakaran hutan seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)

"Levelnya sama dengan teroris. Karena bukan hanya merusak ekosistem dan lingkungan, memusnahkan plasma nutfah, juga dapat membunuh manusia," kata Viva Yoga dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (22/9).

Baca Juga

Viva mengklaim dalam pembahasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dirinya bersama anggota komisi IV DPR RI telah memperjuangkan pasal pelaku pembakar hutan dan lahan masuk kategori kejahatan luar biasa. Namun upaya tersebut ternyata belum berhasil. 

"Untuk itu perlu diwacanakan lagi usulan pasal ini," usulnya.

Ia menilai penegakan hukum untuk kasus karthutla masih sangat lemah. Padahal aturan yang mengatur mengenai sanksi pidana dan dendanya sudah jelas.

Seperti di Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di Pasal 78 ayat (3) menyebutkan bahwa pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal lima miliar rupiah.

Kemudian kedua, di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, di Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.

Lalu ketiga, di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, di Pasal 108 menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp 10 miliar.

"Dalam realitasnya, pasal sanksi pidana bagi oknum intelektual kasus karhutla hanya bersifat macan kertas saja. Ompong, unoperational," ujarnya.

Wakil ketua umum PAN itu juga menganggap pelaku pembakaran hutan dan lahan kerap tidak tersentuh hukum (untouched by law), kebal hukum, dan menjadi manusia setengah dewa. Ia juga secara tegas menganggap bahwa negara telah kalah. 

"Pengadilan bertekuk-lutut tidak berkutik," tegasnya.

Selain itu politikus PAN tersebut juga mengusulkan ada penambahan dana penanggulangan bencana dari Pemerintah Pusat. Anggaran juga diharapkan fokus pada program pemadaman hotspot secara cepat, penanganan gangguan kesehatan masyarakat secara manusia, dan penyelamatan plasma nutfah serta flora fauna agar tidak punah.

"(usulan) kedua, Pemerintah Pusat agar lebih serius meningkatkan kualitas koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah," imbuhnya.

Menurutnya sebagian besar publik menilai bahwa penanganan bencana karhutla kurang serius dan tidak antisipatif. Padahal, menurutnya persoalannya bukan itu.

"Tetapi yang utama adalah soal keterbatasan dana dan lemahnya peralatan dan kemampuan teknologi dalam mematikan hotspot," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement