REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren hingga kini masih menjadi pembicaraan. Beberapa ormas Islam melalui surat yang dikirim Muhammadiyah meminta penundaan pengesahan.
Permintaan ini dilakukan karena ormas-ormas ini menganggap definisi pesantren yang disebutkan di dalam RUU tersebut tidak mengakomodir semua jenis pesantren yang ada.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza Azzahra mengatakan hal substansial yang masih diperdebatkan terkait dengan nomenklatur definisi pesantren yang tercantum di RUU Pesantren.
Selama ini, definisi pesantren di Indonesia identik dengan karakteristik pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai studi tentang pesantren, seperti karya-karya terkenal dari Clifford Geertz dan Martin van Bruinessen.
Namun, seiring dengan dinamisnya geliat pendidikan Islam di Indonesia, berbagai individu dan organisasi Islam di Indonesia mulai merintis pesantren yang memiliki model berbeda dengan pesantren NU. Beberapa diantaranya adalah pesantren yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).
“Beragamnya karakteristik pesantren inilah yang kemudian menyulitkan perumusan definisi pesantren yang ada di RUU. Sebaiknya, RUU Pesantren dapat mengakomodasi bentuk-bentuk pesantren yang sudah ada di Indonesia jauh sebelum pembentukan RUU ini," ujar Nadia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Jumat (20/9).
Ia juga menyebut, jika hal ini tidak diakomodir, maka pesantren-pesantren lain yang juga berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa akan semakin termarjinalkan. Atau, bisa jadi konsekuensinya lebih buruk yakni tidak diakui dalam skema pendidikan nasional.
Nadia menambahkan, jika RUU Pesantren ingin disahkan dalam waktu dekat, sebaiknya DPR dan pemerintah dapat menyikapi secara bijak. DPR juga diminta memaksimalkan waktu yang tersisa untuk berdialog dengan perwakilan dari pesantren maupun organisasi-organisasi Islam supaya mencapai konsensus.
Posisi RUU Pesantren disebut harus disingkronisasi lebih lanjut, terutama dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20/2003. UU ini menjadi tulang punggung dari berbagai peraturan pendidikan yang ada di Indonesia. Jika tidak, akan terjadi “kebingungan” terkait dengan posisi pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan.
RUU Pesantren memang diperlukan untuk mempertegas posisi skema pendidikan nasional. Jiika RUU tersebut disahkan, maka pesantren akan dianggap setara dengan sekolah umm lainnya, termasuk dalam menerima dana dari pemerintah sama seperti sekolah umum.
"Selama ini, pesantren hanya memperoleh dana dari pemerintah berupa BOS Pesantren dan dana hibah yang tidak rutin. BOS Pesantren pun hanya diberikan untuk Pesantren yang menyelenggarakan kurikulum nasional," lanjutnya.
Santri pondok pesantren (Ilustrasi)
Ketentuan ini menurut Nadia menyebabkan banyak pesantren yang luput dari pendanaan pemerintah. Ditambah, berdasarkan penelitian dari CIPS, BOS Pesantren hanya menutupi 7persen dari seluruh pengeluaran pesantren.
"BOS pesantren bukanlah bantuan yang diandalkan sebagai sumber utama pendanaan pesantren. Di sisi lain, pengakuan juga harus dikaji dari sisi pengakuan negara terhadap lulusan pesantren yang harus sama dengan lulusan sekolah umum,” ucap Nadia.
Ke depan, Nadia meyakini akan ada perubahan lanskap dalam anggaran dalam sistem pendidikan nasional jika RUU ini disahkan. Pesantren di Indonesia akan memperoleh kenaikan anggaran yang bersumber dari 20persen alokasi APBN untuk pendidikan.
Keuntungan lain dari adanya RUU ini adalah tersedianya payung hukum. Pemerintah daerah dapat menganggarkan dana yang dapat dialokasikan untuk pesantren-pesantren yang terdapat di daerah mereka. Guru-guru pesantren pun diperkirakan akan terkena imbas positif terkait kesejahteraan mereka.
Sementara, Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Teten Romly Qomaruddien mempersoalkan definisi pesantren yang terdapat di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pesantren. Menurutnya, RUU tersebut harus dikaji kembali dan jangan tergesa-gesa disahkan.
"Pendefinisian pesantren di situ (RUU Pesantren) dicantumkan sesuai definisi umum yang tertulis dalam riset masa lampau, seperti Martin van Bruinessen dari Belanda. Bahwa, pesantren itu ada kiai, santri, masjid, pondok, dan kitab kuning," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (20/9).
Teten melanjutkan, bila mengacu pada lima hal itu, lantas bagaimana dengan perkembangan model pesantren sekarang ini. "Terutama yang dikelola oleh ormas-ormas Islam yang boleh dikata modernis, mereka sudah mengembangkan pesantren jauh lebih dari itu," tuturnya.
Misalnya, dalam hal memaknai kitab kuning. "Kitab kuning yang dimaksud bukan saja kitab-kitab atau buku kiai dulu saja yang wajib di pesantren, tapi juga perkembangan kitab-kitab fikih modern itu sudah masuk apalagi di era digital itu sudah jauh lebih maju kan," tambahnya.
"Artinya untuk kitab kuning, ini perlu dikoreksi lagi, untuk perkembangan ke depan bukan hanya melihat masa lalu tapi visioner ke depan," tutur dia.
Terlebih, Teten mengatakan, tidak semua ormas Islam yang mengelola pesantren itu memenuhi 5 rukun tersebut. Karena ada beberapa pesantren yang dikelola ormas Islam yang meski tidak diwajibkan tinggal di pondok tetapi namanya adalah pesantren.
"Ada yang mondok ada yang tidak. Tetapi tetap namanya pesantren walaupun madrasah," tutur dia.
"Seperti misalnya model di Persis, meski pesantrennya ratusan itu tidak semua ada boarding tapi namanya tetap pesantren. Pesantren Persis nomor 1, 2, sampai ratusan. Ada yang full day ada yang boarding school. Ini harus didudukkan dulu," katanya.
Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menanggapi soal Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pesantren. Ketua PBNU bidang hukum, HAM, dan perundang-Undangan, Robikin Emhas menuturkan lembaga pendidikan yang tidak menggunakan kitab kuning berarti bukan pesantren.
"(Kalau tak memakai kitab kuning), ya bukan pesantren namanya. Kitab kuning adalah salah satu elemen pokok pesantren. Tanpa kitab kuning tidak bisa dikualifikasi Pesantren. Silakan saja disebut boarding school atau apa," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (20/9).
Ilustrasi Pondok Pesantren
Menurut Robikin, definisi pesantren yang dirumuskan dalam RUU Pesantren sudah tepat dan sudah benar. Sehingga definisi tersebut tidak perlu diubah. Rumusan itu telah memenuhi aspek filosofis, sosialogis dan budaya Pesantren.
"Sebagaimana kita maklum, terdapat lima unsur pokok untuk dapat dikategorikan sebagai pesantren. Yaitu (ada) kiai, santri, masjid atau mushala, pondokan atau asrama, dan kitab kuning. Kurang satu unsur saja, maka tidak bisa disebut sebagai pesantren," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, definisi pendidikan pesantren dalam RUU Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan berbasis pada kitab kuning, dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.
RUU Pesantren telah disepakati oleh Komisi VIII DPR dan pemerintah melalui Kementerian Agama pada rapat kerja di Komisi VIII, Kamis (19/9) kemarin. Dengan demikian, RUU tersebut selanjutnya akan dibawa ke rapat peripurna untuk disahkan.
Dukungan pengesahan RUU Pesantren salah satunya datang dari Ponpes Darunnajah. Wakil Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Manshur Darunnajah Cabang 3 Banten, Busthomi Ibrohim, mengatakan Ponpes Darunnajah mendukung pengesahan RUU Pesantren. Menurutnya, RUU itu telah mengakomodir pondok pesantren Darunnajah.
Busthomi juga menilai, RUU itu bentuk pengakuan pemerintah terhadap keberadaan pesantren. "Sebetulnya mendukung, enggak ada usaha untuk menghalangi. Sebagaimana pondok yang lain, sebagaimana pondok yang menggunakan sistem mu'allimin. RUU itu sangat menguntungkan pondok (pesantren)" imbuhnya.
Bagi Busthomi, definisi pesantren yang tercantum dalam RUU Pesantren sudah cukup. "Kalau ada satu-dua kata yang belum pas, itu manusiawi. Misalnya mengapa menggunakan kalimat kitab kuning, ini debatable sejak dulu," tuturnya.
Menurut Busthomi, tiga kata yang tercantum dalam definisi pesantren pada RUU Pesantren, secara implisit telah mewadahi berbagai bentuk pondok pesantren. Tiga kata yang dimaksud, yaitu kitab kuning, mu'allimin dan dirasat islamiyah.
"Teman-teman di NU (Nahdlatul Ulama), pondok pesantrennya dengan kitab kuning, teman-teman seperti Gontor itu juga mu'allimin, Muhammadiyah juga mu'allimin. Teman-teman yang tidak mu'allimin dan tidak kitab kuning, semacam pondok tahfiz, masuk ke dalam dirasat islamiyah, kan juga kajian keislaman," paparnya.