REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Sosio-Politik, Fachry Ali menilai kemunculan nama Presiden Joko Widodo tak luput dari hasil kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang 'membantai' para elit politik pasca-era orde baru. Jokowi, kata ia, semestinya paham soal ini.
"Jokowi seharusnya paham hasil KPK membantai elitlah yang kemudian memunculkan namanya," ujar Fachry dalam acara Simposium peneliti Jokowi ketiga, di Utan Kayu Jakarta, Kamis (20/9).
Namun tindakan 'pembantaian' ini, dibalas para elite dengan menghabisi KPK dengan perlakuan sama. Aksi bisa mereka lakukan karena susunan kekuasaan yang berada di pemerintahan Jokowi berlangsung sangat kondusif untuk para elite tersebut.
Transformasi dari era pascajawa-orde baru menuju demokratisasi yang sebenarnya itu, menurut Fachry, akan kuat apabila Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berusaha menjadi pendamping Jokowi dalam membangun etika sosial dalam antikorupsi. "NU dan Muhammadiyah harus membangun dasar etik dan dukungan moral bagi Jokowi dalam memberantas korupsi," saran Fachry.
Menurut Fachry, Jokowi kini berada dalam oligarki partai politik yang orang-orangnya banyak diamankan KPK. Karena sistem kekuasaan yang kondusif, Jokowi berkompromi dalam hal-hal seperti itu.
Fachry mengenang di massa orde baru, partai sangat disepelekan. Saat itu berlangsung birokratif politik. Keputusan tidak diambil dari artikulasi massa, tetapi dari dalam birokrasi itu sendiri. "Kaum intelektual berusaha membela parpol pada massa itu. Tapi tidak berhasil. Kini massa reformasi, partai justru paling berkuasa dan merontokkan birokrasi politik tadi," ujar Fachry.
Kondisi itu juga menurut Fachri menyebabkan mengapa revisi UU KPK begitu mudah disahkan oleh DPR.
Ditambah lagi, NU dan Muhammadiyah hanya berdiam diri saat KPK diotak-atik. Jokowi menurut dia, harus bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan liberatif untuk lepas dari kekuatan-kekuatan saat ini.
"Tentu Jokowi tidak boleh dibiarkan sendiri. Sebab, Jokowi adalah produk perubahan sosiopolitik yang berlangsung pascajawa," ujar Fachry.
Anggota wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat sipil antikorupsi melakukan aksi
Dalam simposium peneliti Jokowi ketiga di teater utan kayu Jakarta Kamis. Para peneliti Jokowi berkumpul dan berdiskusi membahas fenomena politik Jokowi. Fokus kegiatan tertuju pada tema besar kegiatan yakni “Indonesia Pasca-Jawa“.
Inisiator kegiatan tersebut, Arief Rosyid Hasan mengatakan kegiatan itu didasarkan pada realitas karakter kekuasaan Jokowi yang telah cukup mampu mengubah cara pandang kekuasaan yang sebelumnya selalu Jawa-Sentris menjadi Indonesia-Sentris.
“Di bawah kepemimpinan Jokowi, kita melihat adanya pergesaran karakter kekuasaan yang selalu Jawa-Sentris menjadi Indonesia-Sentris. Gaya kepemimpinan itu melampaui pemimpin-pemimpin negara kita sebelumnya," kata Arief di Jakarta, Kamis.
Kegiatan simposium peneliti Jokowi ketiga itu menghadirkan empat narasumber diantaranya yaitu Pengamat Sosio-Politik LIPI, Fachry Ali, mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Kabinet Gotong Royong Manuel Kaisiepo, Akademisi UGM/UNHAN Aris Arif Mundayat, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, Asep Salahuddin, dan juga sebagai Moderator dalam kegiatan tersebut adalah Pimpinan Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria.