REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Policy and Advocacy WWF-Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi kali ini hendaknya tidak dianggap normal. Mengingat kondisi kemarau masih normal dibanding 2015 yang terjadi El Nino.
“Presiden perlu melihat karhutla kali ini jangan dianggap normal. 2015 memang dahsyat sekali dalam konteks El Nino. Kita beruntung 2016 hingga 2018 kemaraunya masih basah, tapi 2019 ini juga bukan kemarau yang extraordinary,” kata Aditya dalam diskusi Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan di Pandahub, Jakarta, Selasa (17/9).
Karenanya, menurut dia, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih berlangsung ini jangan sampai dianggap normal. Faktanya, sejumlah bandara tidak kini bisa didarati pesawat, anak-anak sekolah harus diliburkan, jumlah masyarakat terkena ISPA yang menjadi silent killer meningkat. “Ini kita harus tolak, karena kondisi ini tidak normal. Dan ini darurat,” lanjutnya.
Terkadang, ia mengatakan masyarakat Indonesia yang kerap terkena kabut asap karhutla menganggap kondisi tersebut normal. Sementara di Singapura ataupun Malaysia ketika grafik konsentrasi partikel udara menunjukkan sedikit peningkatan maka dalam hitungan dua hari saja mereka langsung akan “berteriak”.
Setelah 2015, menurut dia, sebenarnya pemerintah memiliki instrumen kuat untuk mengelola hutan dan lahan gambut. Pengembalian fungsi hidrologi gambut juga ada kebijakannya, bahwa bukan berarti tidak boleh dikelola, tetapi level muka air harus dikelola.
“Harusnya tidak dengan tanaman yang dikembangkan dengan perlu water table dikurangi,” kata Aditya menjelaskan bagaimana seharusnya tinggi muka air di lahan gambut dikelola.
WWF-Indonesia juga, menurut dia, sudah pernah meminta aturan di Permen LHK P.10/MenLHK/Setjen/KUM.1/3/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut ditinjau kembali karena dianggap memberi kelonggaran restorasi gambut bagi perusahaan.
Team Leader RIMBA Sumatera dan Hutan WWF-Indonesia Tri Agung Rooswiadji mengatakan upaya restorasi gambut harus lebih tepat dilakukan di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), tidak hanya per kawasan konsesi saja. Contohnya saja yang terjadi di Hutan Lindung Gambut Londerang, Jambi, yang di dalam KHG-nya terdapat masyarakat, konsesi, dan area konservasi.
“Air gambutnya harus bisa terkelola baik. Kalau hanya lindungnya saja yang dikelola mungkin Londerangnya aman, tapi kanan dan kirinya ada api dan bisa masuk ke kawasan lindung. Karenanya harus disamakan dulu perawatannya di satu KHG tersebut,” ujar dia sambil mengatakan pemerintah perlu leading di sana dan WWF akan mendukung.