Selasa 17 Sep 2019 15:14 WIB

Bappenas Sebut Ibu Kota Baru Bebas Karhutla, Benarkah?

Titik lokasi ibu kota baru disebut terbebas dari lahan gambut yang mudah terbakar.

Rep: Dedy Darmawan, Arif Satrio Nugroho/ Red: Karta Raharja Ucu
Foto aerial kawasan ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara
Foto aerial kawasan ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bap penas atau Kementerian PPN) menyatakan lokasi ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, bebas dari titik panas. Titik lokasi ibu kota baru yang dipilih terbebas dari lahan gambut yang mudah terbakar.

"Kita sudah cek dan (lokasi ibu kota baru) bukan yang mengandung gambut atau mudah terbakar," kata Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat "Dialog Nasional Keempat Pembangunan Ibu Kota Baru" di Jakarta, Senin (16/9).

Bambang mengakui lokasi ibu kota baru saat ini memang tidak sepenuhnya bebas dari bencana, termasuk kebakaran hutan dan lahan. Namun, Bap penas melalui kajian yang telah dilakukan 2,5 tahun yang lalu memastikan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara paling minim potensi bencana. Hutan yang saat ini ada di dua lokasi tersebut juga telah berubah menjadi hutan tanaman industri yang aman dikelola.

photo
Satgas Karhutla Riau terus berupaya melakukan pemadaman di tengah pekatnya asap kebakaran lahan gambut yang terbakar di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Senin (16/9/2019).

Bagi pemerintah saat ini yang perlu difokuskan adalah kebutuhan pembiayaan yang lebih banyak melibatkan banyak investor. Namun, sebelum itu pemerintah harus membuat regulasi sebagai dasar hukum pendirian ibu kota baru menggantikan DKI Jakarta.

Pemerintah juga mencatat memiliki valuasi aset fisik senilai Rp 1.123 triliun di wilayah DKI Jakarta yang bakal digunakan pemerintah untuk menghasilkan modal demi pembangunan ibu kota baru. Bambang mengatakan, valuasi aset tersebut berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. Namun, valuasi aset di Jakarta itu masih dalam proses audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Separuh dari aset itu sekitar Rp 500 (triliun)-Rp 600 triliun bisa dioptimalkan untuk dikerjasamakan dalam pengelolaan aset," kata Bambang. Ia mengatakan, aset sebesar itu diketahui berada dalam bentuk fisik atau Barang Milik Negara (BMN).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement