Selasa 17 Sep 2019 04:00 WIB

Kampanye Kotor Netanyahu

Demi meraih dukungan, Netanyahu melakukan berbagai cara.

Ani Nursalikah
Foto: dok. Pribadi
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*

Netanyahu membuat sebuah pengumuman mengejutkan sekaligus menyakitkan. Dalam sebuah konferensi pers di Tel Aviv, sepekan kemarin, ia membuat janji bakal memperluas daerah jajahan Israel di Tepi Barat.

Pengumuman itu ia sampaikan lengkap dengan sebuah peta yang menunjukkan wilayah Tepi Barat. Tampak dalam peta itu warna oranye yang mengindikasikan wilayah Palestina dikepung dengan warna biru alias daerah yang dikuasai Israel.

Reaksi penulis saat mendengarnya adalah hal itu merupakan iming-iming Netanyahu untuk mendulang suara dalam pemilu putaran kedua 17 September. Pemilu digelar setelah Netanyahu awal tahun ini gagal berhasil membentuk pemerintahan koalisi.

Jelang pemungutan suara, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meningkatkan tawarannya untuk kelompok sayap kanan. Pada Ahad (15/9), kabinet Netanyahu bertemu di Lembah Yordan. Padahal, kabinet Israel sangat jarang melakukan rapat di Tepi Barat.

Netanyahu sedang berjuang agar tetap kukuh setelah 10 tahun menjadi perdana menteri. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan Partai Likud dimana Netanyahu bernaung memperoleh suara hampir sama dengan Partai Blue and White dari rival terbesarnya, Benny Gantz.

Namun, tidak ada yang istimewa dari kampanye Netanyahu. Ia masih menjual soal kedaulatan Israel atas Palestina.

Gantz pun menanggapi rencana aneksasi Lembah Yordan di Tepi Barat dengan santai. Dia menyatakan senang Likud mengadopsi rencana partainya.

Demi meraih dukungan, Netanyahu tampaknya melakukan berbagai cara, termasuk melakukan cara kotor. Kamis lalu, Facebook Israel menangguhkan chatbot yang terhubung dengan akun resmi Netanyahu.

Penangguhan itu karena akun tersebut melanggar kebijakan Facebook yang melarang penghasutan dan pesan kebencian. Akun itu sebelumnya mengunggah peringatan berbunyi "politikus Arab-Israel ingin menghancurkan kita semua".

Facebook memberlakukan penangguhan selama 24 jam. "Jika ada tambahan pelanggaran, kami akan mengambil langkah yang diperlukan," ujar Facebook dalam pernyataannya.

Penangguhan itu hanya berpengaruh pada bot, tapi tidak pada halaman Facebook resmi Netanyahu. Dalam wawancara radio, Netanyahu menyalahkan pekerja kampanyenya.

Netanyahu menggunakan taktik serupa dalam pemilihan sebelumnya, khususnya pada 2015 ketika dia mengklaim orang-orang Arab memilih secara berbondong-bondong. Seorang kolumnis untuk surat kabar Haaretz yang condong ke kiri mengatakan, skandal Facebook, bagaimanapun, adalah titik terendah dari apa yang merupakan kampanye paling menjijikkan dan paling rasialis yang pernah ada.

Dalam prosesnya, Netanyahu telah berhasil mengesampingkan apa yang seharusnya menjadi isu sentral pemilu ini, yakni dugaan korupsi dan prospek dakwaannya. Netanyahu menghadapi tiga skandal korupsi. Pemeriksaan pendahuluan sebelum sidang akan digelar bulan depan.

Gerah dengan manuver Bibi, julukan Netanyahu, Arab Joint List bersatu dengan harapan mampu menggusur Bibi. Arab Joint List adalah sebuah kumpulan dari empat partai Palestina.

Wajah-wajah kandidat utamanya bertebaran di lampu jalanan dan gedung apartemen di kota tua Tel Aviv. Mereka mengangkat tema "Persatuan adalah kekuatan kami".

Dilansir di Aljazirah, para pemimpin dan pendukung Joint List mengatakan kebijakan Netanyahu dan hasutan baru-baru ini terhadap warga Palestina di Israel dapat memperkuat aliansi dengan mendorong lebih banyak warga untuk memilih. Ketua Partai Taal, Ahmed al-Tibi, mengatakan bahasa perlawanan Netanyahu terhadap warga Palestina di Israel tidak dapat diterima. Hal itu, menurutnya, justru membuat mereka ingin menjegal Netanyahu.

Dalam beberapa pekan terakhir, Netanyahu menuduh lawan-lawannya, termasuk partai Palestina dan Arab mencoba mencuri suara. Dia menuduh dalam pemilihan pertama, Partai Balad yang merupakan partai Arab, melakukan kecurangan. Menurutnya, partai itu tidak mampu melewati ambang pemilihan tanpa curang.

Para pemuda Palestina yang menjadi warga Israel justru termotivasi untuk memilih. "Meski jika itu tidak berhasil, setidaknya kami berusaha agar suara kami didengar," ujar seorang mahasiswa 21 tahun bernama Amin.

Perlu diingat, 20 persen warga Palestina di Israel adalah Muslim, Druze, dan Kristen. Dari jumlah itu, lebih dari 900 ribu di antaranya masuk dalam daftar pemilih. Karena warga Palestina secara tradisional memilih sebagai blok terpadu untuk Joint List, mereka dapat memiliki efek yang signifikan pada hasil pemilu jika memberikan suara dalam jumlah besar.

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement