Senin 16 Sep 2019 13:48 WIB

Trauma Warga Sebesi Melihat Tambang Pasir Krakatau

Keberadaan kapal penyedot pasir hitam GAK sudah positif merusak ekosistem lingkungan

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Agus Yulianto
Susana di kampung di Dusun Regah Lada, Desa Tejang, Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. FOTO: Mursalin Yasland/Republika
Foto: Foto-foto: Mursalin Yasland/Republika
Susana di kampung di Dusun Regah Lada, Desa Tejang, Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. FOTO: Mursalin Yasland/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Hampir sembilan bulan berlalu, bayang-banyang bencana tsunami Selat Sunda masih saja membekas di benak warga Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan. Terjangan gelombang laut dari Gunung Anak Krakatau (GAK) pada 22 Desember 2018 malam, membuat warga “cuti” panjang melaut.

Rumah, gubuk, kebun, perabotan rumah tangga, dan perahu serta mesin kapal nelayan hancur dan rusak gelompang tsunami. Belum adanya bantuan dari pemerintah yang signifikan, membuat nelayan harus “tidur” dari mata pencariannya di laut Selat Sunda.

Kejadian tersebut masih menyisakan duka mendalam warga Pulau Sebesi yang berprofesi nelayan dan petani. Nelayan tidak mau lagi kejadian serupa terulang. Gelombang tsunami Selat Sunda dari hantaman runtuhan GAK membuat nelayan dan petani Pulau Sebesi dan Desa Kunjir terdampak tidak saja materi tapi juga psikis.

Pulau Sebesi, satu dari pulau terdekat dengan GAK menjadi garda terdepan saat GAK bergolak. Sudah cukup lama warga tidak melaut.  Kapal, perahu, dan rumah rusak. Aktivias ekonomi warga nyaris lumpuh total saat itu. Bantuan pangan dan papan pascabencana tak sebanding dengan bantuan yang diterima korban di wilayah terdampak lainnya.

Warga dikejutkan dengan hadirnya kapal besar (tag boat) bergandengan kapal tongkang di perairan Pulau Sebesi. Sehari dua hari warga tak peduli. Lama-lama warga resah. Mereka sepakat “mengusir” kapal tersebut, karena dinilai tak memberikan manfaat bagi warga Pulau Sebesi yang masih trauma dirundung musibah.

photo
Aktivitas warga di Kampung Dusun Regah Lada, Desa Tejang, Pulau Sebesi. (Foto: Mursalin Yaslan/Republika)

Hilang dari pandangan mata warga, beberapa hari, kapal tersebut ternyata pindah mendekat GAK. Beberapa nelayan yang mulai bangkit melaut mulai kembali resah. Kapal tongkang siap memulai aktivitasnya menyedot pasir hitam GAK.

Kejadian tersebut sudah pernah berulang. Empat tahun lalu kasusnya sampai ke meja hijau, dan pimpinan perusahaannya masuk penjara, meski hukumannya dianggap warga ringan. Tuntutan 13 tahun penjara, namun divonis 6,5 bulan penjara dan denda Rp 50 juta.

Warga kian kesal melihat kapal tongkang nongkrong lagi di depan GAK.Kisah empat tahun lalu berulang. Lagi-lagi warga Pulau Sebesi sepakat mengusir kapal tongkang penyedot pasir GAK pada 10 Agustus 2019. Warga menggunakan kapal nelayan menggerebek kapal tongkang dan kapal tag boat-nya. Penghuni kapal tongkang resah dan kelabakan. Warga memasuki kapal namun tidak menemukan barang bukti berupa pasir, karena belum sempat menyedot pasir GAK warga sudah tiba.

Rahmatullah (32 tahun), warga Pulau Dusun III Regah Lada Desa Tejang, Pulau Sebesi mengatakan, warga kesal karena saat masih trauma dengan bencana tsunami GAK tetapi muncul lagi masalah baru yakni kapal tongkang penyedot pasir GAK.

“Kapal itu kami ketahui (di depan GAK) pada 10 Agustus 2019. Kapal sudah dua kali datang. Tapi kami belum banyak komentar, masa bodohlah. Tapi tetap khawatir. Nah, datang lagi yang kedua, kapal itu juga. Mulailah kami bergejolak di masyarakat. Kami mengajak warga untuk mempertanyakan keberadaan kapal tersebut,” kata Rahmatullah saat ditemui di rumahnya Pulau Sebesi, Lampung, Selasa (10/9) malam.

Menurut dia, kapal tersebut datang 10 hari di depan GAK, jajaran direksi PT Lautan Indonesia Persada (LIP) – pemilik kapal -- menemui warga Pulau Sebesi. Dirut PT LIP Steven dan wakilnya Mario, mengalihkan sorotan warga dengan mengadakan sosialisasi tentang penambangan pasir di area laut Kabupaten Lampung Selatan.

PT LIP menyosialisasikan penambangan pasir bawah laut, khususnya di Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, GAK, dan Selat Sunda. Pertemuan berlangsung di Balai Desa Pulau Sebesi dihadiri juga aparat desa. “Masyarakat awan tidak mengerti, entah modus atau apa. Kami langsung menolak,” ujar Rahmatullah.

Pada waktu itu, ujar dia, PT LIP menyatakan berencana ingin menambang pasir. “Kalau sepengetahuan saya, kalau rencana itu belum dituruni alatnya. Ini (kapal) sudah turun dan beroperasi, baru rencana,” katanya curiga.

Masyarakat spontan menolak dengan tegas, belum sempat menguraikan panjang lebar dari pimpinan PT LIP, baru sebatas mengucapkan denah lokasi, warga sudah tidak mau melanjutkan acara tersebut. Warga sudah mengetahui, bahwa jarak dari bibir pantai pulaunya ke GAK terdekat sekira 8 mil, dan dari pelabuhan 10 mil. PT LIP menambang pasir itu di area sejauh jaraknya 7 sampai 10 mil. Tapi di surat perizinan itu jaraknya 10 sampai 20 mil.

“Warga ingin melihat langsung ke GAK. Berangkat pukul 17.00 WIB dan sampai pukul 18.00 WIB menangkap basah kapal tersebut berlabuh di perairan dekat Krakatau. Perkiraannya, kurang dari 1 mil dekat GAK,” tutur Rahmat.

Ia mengatakan, keberadaan kapal penyedot pasir hitam GAK sudah positif merusak ekosistem lingkungan di sekitarnya. Kerusakan terparah yakni abrasi d pantai, hacurnya terumbu karang, punahnya biota laut, mengurangi atau merusak hasil tangkapan ikan nelayan. “Cenderung terjadi longsor Gunung Anak Krakatau dan juga terjadi gempa dan tsunami seperti tahun lalu,” katanya.

Warga Pulau Sebesi mengingat penambangan pasir sebelumnya gencar dilakukan di depan GAK. Menurut Yusuf, salah seorang tokoh masyarakat di Pulau Sebesi, yang ikut mengusut secara hukum pemilik kapal tongkang penyedot pasir tahun 2014. “Saya dan warga mengadukan ke aparat hukum pemilik kapal tongkang tersebut,” kata Yusuf (72).

Warga Pulau Sebesi pernah menggagalkan upaya kapal tongkang penyedot pasir GAK diantaranya, PT ASCO (2009), PT PAL (2014), dan terakhir  PT LIP (2019).

Menurut Yusuf, dengan keluarnya izin penambangan dari gubernur Lampung maka perusahaan penambang bebas menambang di perairan GAK, karena tidak ada yang mengawasinya. “Saya tidak tahu kejadian tahun 2014 lalu, penyedotan pasir Gunung Krakatau mengakibatkan longsor. Tapi ini perlu diteliti lagi,” katanya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, perlu penelitian lanjutan terkait dengan keberadaan kapal tongkang penyedot pasir hitam di area GAK. Soalnya, kata dia, kehadiran kapal-kapal tersebut secara berulang selain merusak lingkungan, matinya biota laut, area tangkapan ikan nelayan terganggu, juga pengaruh dengan kondisi gunung, karena ada ruang kosong di bawah laut.

“Saat ini kondisi warga pesisir telah dipengaruhi banyaknya tambang-tambang pasir liar. Pulau Sebesi ini tidak bisa lagi membiarkan tambang-tambang pasir di laut. Warga pasti terdampak dari penambangan pasir di GAK apalagi sudah berulang kali,” kata Susan yang sempat berkunjung di Pulau Sebesi.

Menurut dia, Kiara sangat menyesali kejadian hadirnya kapal tongkang penyedot pasir di wilayah perairan GAK, apalagi sudah berulang kali terjadi. Ia mengatakan, pemerintah tidak boleh lagi mengizinkan tambang-tambang pasir laut yang cenderung tidak tepat, apalagi berdampak langsung pada masyarakat pesisir sekitar.

“Kita tidak tahu apakah longsoran GAK yang menimbulkan tsunami dampak dari penambangan pasir itu, masih perlu diteliti, tapi yang jelas telah merusak ekosistem laut,” kata Susan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement