REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan itu muncul lantaran banyaknya anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 ditetapkan tersangka oleh lembaga anti-rasuah tersebut.
"ICW mencatat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan dalam sidang paripurna DPR," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Ahad (15/9).
Dalam catatan ICW sepanjang lima tahun terakhir, 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan, mantan ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniwan pun tak luput dari jerat hukum KPK.
Selain itu, ia mengatakan, hampir seluruh partai politik di DPR periode 2014-2019 sudah pernah terjaring KPK. Sebanyak 23 anggota DPR RI yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berasal dari ragam partai politik.
ICW mencatat, Partai Golkar terdiri 8 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 3 orang, Partai Amanat Nasional 3 orang, Partai Demokrat 3 orang, Partai Hanura 2 orang, Partai Kebangkitan Bangsa 1 orang, Partai Persatuan Pembangunan 1 orang, Partai Nasdem 1 orang dan Partai Keadilan Sejahtera 1 orang.
Ia juga mengatakan banyak perkara yang sedang ditangani oleh KPK melibatkan anggota DPR. ICW mencontohkan, dalam dakwaan Jaksa kasus KTP-el untuk dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, menyebutkan puluhan politisi DPR yang diduga turut serta menerima aliran dana dari proyek yang telah merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun.
Karena itu, ICW menduga, kepentingan utama merevisi UU KPK, yakni melemahkan KPK, yang juga merupakan niat lama. Dalam catatan ICW, isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010 silam.
Dalam naskah perubahan yang selama ini beredar, tidak banyak perubahan, mulai dari penyadapan atas izin ketua pengadilan, pembatasan usia KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas. "Atas narasi di atas maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR terlihat serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan," kata Kurnia.
Selain dari waktu pembahasan yang tidak tepat, substansi nya pun menyisakan banyak perdebatan, dan secara kelembagaan KPK memang tidak membutuhkan perubahan UU. Untuk itu, ICW meminta DPR RI dan Pemerintah segera menghentikan pembahasan revisi UU KPK.
"Akan jauh lebih bijaksana jika DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi. Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai," kata dia.