REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kualitas udara kota Sampit, Kalimantan Tengah, masih masuk dalam kondisi berbahaya akibat kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, masyarakat juga mengeluhkan dampak asap pada aktivitas perdagangan di wilayah tersebut.
Berdasarkan data dari Airvisual pada Sabtu (14/9), indeks kualitas udara dalam particular mikro (PM) 2.5 di kota Sampit yakni sebesar 155 atau tidak sehat (unhealthy). Sedangkan pada data kualitas udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (13/9), indeks kualitas udara dalam PM 10 melebihi 600 yang masuk dalam kategori berbahaya.
Menurut warga kota Sampit, Muhammad Isa (33 tahun), kondisi kabut asap kota Sampit dalam seminggu terakhir semakin parah. Bahkan hingga membuat siang terlihat seperti senja, karena kabut asap yang tebal menutupi sinar matahari.
"Kondisi ini karena banyaknya titik api kebakaran lahan dan ladang. Selain asap, debu dari kebakaran lahan juga sangat mengganggu warga," ujar Isa kepada Republika.co.id, Jumat (13/9) malam.
Tebalnya kabut asap, kata Isa, bersifat fluktuatif dan pada pagi hari umumnya cerah dibandingkan siang hingga malam hari. Namun, masyarakat di Sampit tetap berupaya membatasi aktivitas di luar rumah.
Bagi yang berdagang, hal itu tentunya sangat merugikan, karena membuat pasar sepi. Isa yang memiliki toko pakaian muslim di Pusat Pasar Mentaya, Sampit, mengaku telah mengalami penurunan omzet hingga 50 persen sejak bencana kabut asap terjadi.
"Ini juga di keluhkan pedagang lain, juga jasa kuliner. Biasanya awal bulan penjualan meningkat," kata Isa.
Sebelumnya pada Jumat (13/9), BMKG meminta kepada masyarakat untuk terus mewaspadai sebaran asap akibat dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di wilayah Indonesia, khususnya Sumatra dan Kalimantan.
"Potensi terjadinya titik panas dan asap diprediksi masih dapat berlangsung hingga pertengahan Oktober, seiring dengan masih berlangsungnya periode musim kemarau di sebagian wilayah Sumatra dan Kalimantan," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam pernyataan resminya, Jumat (13/9).