Rabu 11 Sep 2019 11:05 WIB

Ingat Bob Hasan, Zohri, dan Anak-Anak Audisi Jarum

Indonesia perlu sosok orang dan swasta yang peduli prestasi olah raga.

Susy Susanti menangis saat jadi juara olimpiade.
Foto: wikipedia
Susy Susanti menangis saat jadi juara olimpiade.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

‘’Zohri hampir gagal berangkat karena dia anak yatim-piatu. Saya harus menanggung semua, kalau tidak, dia tidak dapat visa," kata Bob Hasan pada suatu ketika di sebuah perjumpaan. Waktu itu si-anak Nusa Tenggara Barat, Lalu Muhammad Zohri, baru digadang-gadang setinggi langit karena berhasil menjadi juara kedua lomba lari tingkat dunia. Dan memang prestasi dia kemudian makin mengkilat hingga menjadi juara di ajang bergengsi lomba lari lainnya.

Tapi di balik pernyataan Bob Hasan ada yang ironi.  Ternyata sampai hari ini menjadi atlet hanya ‘nasib-nasiban’. Begitu banyak bakat, tapi begitu banyak anak yang kemudian terlantar. Menjadi olahragawan di satu sisi menjadi impian, di sisi lain kenyatannya banyak memilukan. Persis pernyataan legenda bulutangkis Susy Susanti yang meski sudah menjadi juara dunia dan olimpiade tetap berkeberatan anaknya menjadi atlet dan memintanya lebih baik sekolah bisnis. Padahal anaknya puya bakat, punya pukulan yang bagus ketika menepok ‘shuttle cok’ bulu tangkis. Pukulannya keras.

Gambar terkait

Harus diakui, yang membesarkan olah raga di Indonesia itu terbukti orang non negara ‘atau swasta’. Tak hanya di lari jarak pendek ada sosok seperti Bob Hasan, di bulu tangkis pasti ada campur tangan swasta, yakni PB Jarum. Di dunia tenis pun ada, yakni ketika petenis Yayuk Basuki bisa masuk peringkat 20 besar dunia. Kala itu juga ada campur tangan ‘bukan pemerintah dan pejabat negara di sana’. Kala itu ada sosok Abruzial Bakrie di sana. Dialah yang mensponsori Yayuk hingga mampu mencapai prestasi puncak.

Catatan keterlibatan swasta pun terus ada. Di dalam karier Elyas Pical juga begitu. Sama saja. Masih ingatkan siapa promotor pertandingan tinju di Senayan kala Elyas Pical menjadi juara dengan meng-KO Judo Chun dari Korea Selatan. Saat itu yang terdengar malah lagi-lagi ironi karena pihak promotor pertandingan mengeluh banyak pejabat yang meminta tiket graris di ‘ring side’ (di sisi ring) padahal berharga sangat mahal. Alhasil, Elyas Pical memang juara, tapi promotor tekor.’’Tak mengapa demi negara,’’ kata sang promotor dengan gagah saat itu.

Mendiang Purnomo Muhammad Yudi, pelari legendaris Indonesia 100 M juga berkata senada. Dia akhir hayatnya dalam laman facebooknya dia kerap mengeluhkan betapa negara abai pada nasibnya. Istilahnya: habis manis sepah dibuang. Padahal seluruh masa mudanya dia telah baktikan ke negara dengan menjadi atlet. Berbagai kompetisi keras hingga ajang olimpiade juga telah dilakukan.

Gambar terkait

Tak hanya itu, pada Februari lalu di media juga ada berita tak mengenakan bagi mereka yang berkecimpung di dunia olah raga.Para peraih medali emas Asian Games 2018, Jakarta-Palembang, ternyata tak bisa langsung mendapatkan bonus rumah yang telah dijanjikan pemerintah pusat.

Sebabnya, ternyata ada syarat yang harus dipenuhi oleh sang peraih medali emas untuk bisa mendapatkan bonus rumah tersebut.  Pihak pemerintah menyatakan bonus rumah untuk peraih medali emas menjadi wewenang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sayangnya sampai berita itu ramai di muat diberbagai media, belum ada sebidang tanah yang ditunjuk secara khusus untuk membangun rumah bonus tersebut. Entah seperti apa sekarang?

Ironi demi ironi memang terus terjadi di olah raga negeri ini. Kalau mau jujur banyak sekali orang tua memberi nasihat tak usah menjadi olahragawan. Paling tidak kalau mau jadi olah ragawan jadi atlet bulu tangkis saja. Masa depannya lebih jelas dan prestasinya sudah tingkat dunia. Lagi-lagi sayangnya ini pun kesandung masalah dengan adanya kabar berhentinya audisi bulu tangkis yang dihelat selama bertahun-tahun oleh pabrikan rokok, Jarum.

Nah, masalah audisi anak-anak bulu tangkis Jarum ini kalau tidak ada solusi berbahaya. Mimpi anak-anak muda menjadi pemanin bulu tangkis top gagal total. Padahal bulu tangkis adalah satu-satunya kebanggaan olah raga Indonesia. Tanpa bulu tangkis nama Indonesia hanya sayup-sayup dan yang terekspose di kancah olah raga internasional hanya  tawuran, konflik, dan kalah bertanding. Indonesia dicap sebagai negara kelas medioker.

Hasil gambar untuk rusuh sepakbola

Nah, adakah sekarang ada sosok Bob Hasan dan Jarum yang mau mengongkosi calon juara kita lagi? Ingat juara tidak bisa cietak sesaat kayak mie instan. Entahlah. Ini beda sekali misalnya dengan perhatian Pakistan yang kadang dianggap sebuah negara yang tak sebanding dengan Indonesia.

Contoh sepele misalnya, di sana poster legenda dunia kriket mereka yang kini menjadi presiden, Imran Khan, saya lihat ada di mana-mana. Padahal itu terjadi beberapa tahun silam, sebelum Imran jadi politisi. Poster dia ada di pelok-pelosok jalan desa di Pakistan. Pada lapangan kriket yang ada di perkampungan gambar Imran pun banyak terpampang. Dia jadi impian.

Ya itu kan itu di Pakistan? Memang betul, di sana juga tak ada Bob Hasan, Bakrie dan Jarum kan? Mudah-mudahan ke depan tak ada lagi mimpi anak yang jadi juara dunia terampas. Atau jangan-jangan kita lebih suka melihat generasi muda menjadi buruh pabrik, misalnya pabrik mobil?

Ah sudahlah.



..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement