Selasa 10 Sep 2019 22:21 WIB

Capim KPK, Calon Komisioner yang Wajib Teken Kontrak Politik

DPR mewajibkan capim KPK menandatangani pernyataan komitmen menyetujui revisi UU KPK.

Rapat dengar pendapat Umum soal seleski capim KPK di Komisi III DPR RI hanya dihadiri tiga kelompok masyrakat, yakni Indonesia Police Watch (IPW) yang selama ini aktif mengomentari kinerja kepolisian, Presidium Organisasi Kepemudaan Nasional (Poknas) dan Presidium Relawan Indonesia Bersatu. Selasa (10/9).
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Rapat dengar pendapat Umum soal seleski capim KPK di Komisi III DPR RI hanya dihadiri tiga kelompok masyrakat, yakni Indonesia Police Watch (IPW) yang selama ini aktif mengomentari kinerja kepolisian, Presidium Organisasi Kepemudaan Nasional (Poknas) dan Presidium Relawan Indonesia Bersatu. Selasa (10/9).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Arif Satrio Nugroho, Ali Mansur

Ada yang berbeda dari proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan (capim) KPK di DPR kali ini. Komisi III DPR kali ini menyiapkan sebuah surat pernyataan untuk memastikan konsistensi 10 capim KPK.

Baca Juga

"Kali ini untuk fit and proper test capim KPK surat pernyataannya tidak standar. Tetapi yang standar plus nanti ditambah hal-hal yang merupakan komitmen," kata anggota komisi III DPR Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/9).

Asrul mengatakan, 'kontrak politik' tersebut dimaksudkan untuk menjamin komitmen para capim agar sewaktu-waktu tidak berubah sikap saat mendapat tekanan publik. Menurutnya yang terjadi saat ini kerap demikian. Saat fit and proper test bilang setuju (revisi UU KPK), namun di tengah jalan bilang tidak setuju lantaran takut kehilangan popularitas.

"Kami tidak ingin kultur seperti itu. Kalau tidak setuju, ya tidak setuju saja," ujarnya.

Nantinya, 'kontrak politik' secara tertulis itu akan ditandatangani di atas materai. Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin menolak pandangan yang menyebut 'kontrak politik' untuk capim KPK yang terpilih bakal mengganggu independensi. Menurut dia, surat pernyataan itu hanya untuk memastikan agar capim KPK menjalankan UU KPK sebaik-baiknya

"Itu standar, 'kontrak politik' itu untuk menjalankan UU secara sesungguhnya. Tidak ada hal lain," kata Azis di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9).

Azis menyatakan, surat kontrak itu tak terkait dengan proses revisi Undang-Undang KPK. Meskipun, Azis mengakui bahwa, sepuluh capim bakal dimintai pandangan soal revisi UU KPK.

"Di capim kita tidak memfokus pada revisi, capim memilih calon figurnya itu apakah pandangan dia terhadp UU yang ada," ujar dia.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun mengomentari langkah Komisi III DPR yang meminta para capim KPK untuk menandatangani surat pernyataan komitmen. Fahri menilai, adanya semacam surat pernyataan komitmen tersebut dibuat agar KPK tidak buat aturan sendiri.

"Saya kira istilahnya suruh mereka tekun, taat, sesuai dengan maunya undang-undang. Jangan buat aturan sendiri, sekarang ini kan banyak buat aturan sendiri," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (10/9).

Fahri juga mengatakan 'kontrak politik' tersebut lantaran Komisi III kerap menjadi saksi berubahnya sikap KPK. Pasalnya, Komisi III selama ini kerap menjadi saksi penyimpangan pemahaman pimpinan KPK yang setelah jadi pimpinan tidak lagi ikut undang-undang.

"Tapi ikut SOP, ikut wadah pegawai, ditekan situasi internal. Padahal mereka itu di atas, dipilih DPR yang dipilih rakyat, harusnya dia bebas mengekspresikan sesuai dengan undang-undang," ujarnya.

Capim dari unsur kepolisian Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri mengaku belum mengetahui isi surat pernyataan tersebut. Ia berjanji jika sudah mengetahui isi surat pernyataan tersebut ia akan menjawabnya.

"Saya belum tahu isinya jadi saya tidak bisa jawab," kata Firli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (9/9).

Intimidasi DPR

Peneliti komunikasi politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai adanya kontrak politik yang harus diteken para capim KPK adalah sebuah intimidasi. "Tentu saja merupakan intervensi, bahkan lebih jauh sebagai intimidasi. Dengan menyetujui kontrak, artinya tiap capim akan menyetujui dengan dalih tidak ada pilihan lain, sementara hal itu dilakukan dalam proses seleksi," ujar Dedi Kurnia, saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (10/9).

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) itu, 'kontrak politik' yang diminta DPR RI ke seluruh capim terpilih adalah cara paling kasar sejauh ini. Kondisi ini jelas intimidasi bagi capim.

Seharusnya, kata dia, tidak terjadi, 'kontrak politik' itu andaipun diperlukan seharusnya muncul ketika pimpinan KPK terpilih sudah ditentukan. Sehingga, tidak membatasi idealisme capim saat dalam proses seleksi.

"Kontrak ini semakin menguatkan anggapan publik jika DPR RI sedang mengantisipasi pimpinan KPK yang sejalan dengan kepentingan DPR RI, bisa saja kontrak ini menjadi materi politik sandera. Tentu sangat disayangkan," tutur Dedi Kurnia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement