Rabu 11 Sep 2019 04:07 WIB

Gundala, Putra Seorang Buruh

Dalam KBBI tidak ada bedanya antara pekerja dan buruh.

Nur Aini
Foto: dok. Republika
Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nur Aini*

Film Gundala bercerita tentang pahlawan super berkekuatan petir. Tanpa menjelaskan asal usul kekuatan petirnya di dalam film itu, Gundala langsung dijuluki putra petir. Padahal, dalam film itu, jelas memperlihatkan Sancaka yang merupakan Gundala kecil, adalah putra seorang buruh. Lewat film Gundala itu, kita bisa melihat perjuangan para buruh yang menuntut sistem kerja berkeadilan. Tetapi apakah buruh itu hanya mereka yang berada di pabrik atau sebenarnya kita inilah para buruh yang harus menuntut keadilan dari sistem ketenagakerjaan?

Film Gundala dibuka dengan kerumunan massa yang rupanya merupakan serikat pekerja di sebuah pabrik. Yel-yel "buruh bersatu tak bisa dikalahkan" diteriakkan lantang saat para pekerja itu berdemonstrasi di depan pabrik. Mereka menentang sistem kerja di pabrik, yang dalam film itu disebutkan sebagai "ketidakadilan". Ayah Sancaka, dalam film diperankan oleh Rio Dewanto, menjadi pemimpin dalam serikat pekerja yang berdemonstrasi.

Mungkin Anda telah menonton Gundala bersama keluarga. Meski film sudah mencantumkan untuk usia 13 tahun, cerita film Gundala agaknya sulit untuk dicerna remaja. Apalagi anak balita yang diajak orang tua menonton Gundala karena ini film pahlawan super. Joko Anwar, sutradaranya memilih menarasikan cerita Gundala sebagai pertentangan antar-kelas, orang miskin dan orang kaya. Cerita film Gundala tidak seperti dalam komik. Joko mengubah cerita Sancaka dari seorang insinyur, menjadi seorang teknisi yang kemudian menjadi sekuriti.

Penggambaran buruh di dalam film Gundala menguatkan stereotipe yang melekat dalam kata 'buruh'. Yel-yel "buruh bersatu tak bisa dikalahkan" seolah hanya milik mereka yang bekerja di pabrik, kelas sosial rendah. Buruh jarang digunakan untuk menunjuk mereka yang bekerja di perkantoran. Kita lebih sering memakai kata karyawan atau pekerja bagi mereka yang bekerja di kantor.

Mereka yang bekerja di perkantoran, ada yang menganggap beda kelas dengan buruh. Mereka masuk golongan kelas menengah, bukan kelas bawah seperti buruh. Mereka juga berpendidikan dan berketerampilan, masak disamakan dengan buruh pabrik?

Kata buruh sebenarnya tidak ada bedanya dengan pekerja atau karyawan. Dalam KBBI, buruh adalah mereka yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Makna buruh disejajarkan dengan kata 'pekerja'. Perubahan penyebutan buruh menjadi karyawan atau pekerja ini dipopulerkan era orde baru.

Historia pernah menuliskan kata karyawan digunakan oleh pemerintah Orde Baru sebagai pengganti kata buruh. Kata buruh dinilai bermuatan politis yang diidentikkan dengan gerakan kiri. Itulah yang membuat Orde Baru menghapus peringatan Hari Buruh (May Day) setiap 1 Mei.

Seiring waktu, kata buruh memang lebih kerap terdengar saat Hari Buruh. Mereka yang berada di perkantoran seakan berjarak dari kata itu, karena mengidentifikasi diri sebagai karyawan meski masih diupah. Turun ke jalan atau demonstrasi adalah milik para buruh, kita tetap di kantor.

Lewat film Gundala, buruh direpresentasikan pekerja pabrik, orang miskin yang harus menuntut perusahaan lewat demonstrasi. Buruh dibiarkan berkelahi sesama buruh, hingga ayah Sancaka bisa dibunuh setelah dihasut temannya. Pelanggaran aturan ketenagakerjaan digambarkan hanya untuk mereka yang bekerja di pabrik.

Padahal, mereka yang bekerja di perkantoran pun banyak yang diperlakukan tidak adil. Ada pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK), jam kerja tinggi, beban kerja berlebihan, dan sederet masalah lainnya. Jika Joko Anwar tetap memilih Gundala adalah seorang insinyur, mungkin dia lebih sulit untuk menggambarkannya sebagai korban ketidakadilan sistem ketenagakerjaan. Karena, para insinyur, mereka yang berpendidikan, dan bekerja di kantor, lebih nyaman memilih diam dan memikirkan diri sendiri saat sesama pekerja menghadapi masalah ketenagakerjaan. Kita memilih menjadi karyawan, bukan buruh yang akan berdemonstrasi jika temannya diperlakukan tidak adil. Kita memilih diam daripada dianggap pahlawan kesiangan. Saat itu, saya ingat ucapan teman Sancaka, "tak ada gunanya hidup jika tidak peduli, dan cuman mikirin diri sendiri.”

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement