REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI tengah menunggu Surat Presiden (Surpres) sebelum melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Anggota DPR Komisi III Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan meyakini, Presiden Jokowi akan mengeluarkan Surpres untuk Revisi UU KPK tersebut.
"Insya Allah dikeluarkan. Kalau tidak, ya pembahasan terhenti. Konstitusi menyaratkan dibuat dan dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah," kata Arteria, Senin (9/9).
Arteria melanjutkan, bahasan revisi UU KPK bersama eksekutif itu paling tidak akan menghabiskan sekitar dua hingga tiga pekan. Dia mengatakan, baru setelahnya draf revisi UU KPK itu akan diresmikan jika ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR.
Pembahasan dengan pemerintah terkait revisi ini juga sudah selesai. Ia menyebut sudah ada kesepahaman antara seluruh pihak, baik fraksi PDIP, DPR hingga Jokowi.
Bila Jokowi memang mengeluarkan surpres, hampir bisa dipastikan revisi UU KPK tersebut berjalan mulus, mengingat seluruh fraksi di DPR RI sudah setuju. Presiden Jokowi pun telah memanggil Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Istana Presiden, Jakarta. Jokowi meminta Yasonna untuk mempelajari draf revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diusulkan oleh DPR.
Seperti diketahui, Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu tiba-tiba disepakati oleh seluruh fraksi dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 3 September 2019. Usulan Revisi UU tersebut diserahkan di Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (5/9).
Poin-poin pokok revisi UU KPK antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.