REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Urban farming di Kota Bandung bukan lagi sekadar gaya hidup. Bahkan, urban farming sudah memberikan kontribusi pada kebutuhan pangan masyarakat.
“Ada beberapa teman-teman dari perguruan tinggi yang riset dan menyebutkan sekitar 5-6 persen urban farming mengurangi ketergantungan pangan dari luar Kota Bandung,” kata Kepala Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Bandung Gin Gin Ginanjar, Ahad (8/9).
Gin Gin menuturkan penelitian tersebut memang masih harus dikaji secara mendalam. Namun, ia menilai, urban farming yang semakin meluas ini membantu masyarakat mencukupi kebutuhan pangannya sehari-hari.
Artinya, masyarakat yang melakukan urban farming memenuhi kebutuhan sayur-sayuran seperti cabai, kentang, hingga wortel melalui kegiatan bercocok tanam di tengah kota. Selain itu, ia menilai, ada sebagian yang mulai menjadikan urban farming sebagai bisns pertanian di tengah perkotaan.
“Mereka mampu juga menjual hasil produk ke pihak-pihak usaha hasil dari urban farming,” ujarnya.
Lantaran hal tersebut, ia mengatakan, masyarakat tidak terlalu panik ketika ada kenaikan harga komoditas pangan seperti cabai. Sebab, kebutuhan warga bisa terpenuhi dari urban farming yang ditanamnya sendiri.
Sejak 2014, ia mengatakan, Pemerintah Kota Bandung mulai gencar mengedukasi masyarakat terkait konsep bertanam pada lahan terbatas di perkotaan atau biasa dikenal urban farming. Saat ini, ia menyebutkan, ada 150 kelompok urban farming yang mendapat pembinaan dari Dispantan Kota Bandung.
Ia menerangkan setiap kelompok ini berisikan 15-20 orang. Jumlah ini belum termasuk masyarakat yang menerapkan urban farming secara pribadi.
Secara kuantitas, ia mengatakan, jumla itu meman belum ideal dibandingkan jumlah penduduk. Karena itu, ia berharap, lebih banyak lagi masyarakat yang ikut membudidayakan tanaman pangan dengan metode urban farming.
Menurut Gin Gin, Dispangtan Kota Bandung siap membantu memberikan edukasi teknik bercocok tanam di lahan terbatas di sekitar rumah. Masyarakat bisa meminta pelatihan dengan syarat membuat kelompok sehingga ilmu yang diberikan bisa semakin meluas.
“Dengan kondisi cuaca saat ini (musik kemarau, urban farming juga bisa menjadi salah satu solusi. Karena media yang digunakan bukan lahan terbuka yang luas. Kita memanfaatkan lahan sempit menggunakan pot, menggunakan aquaponik,” tuturnya.
Kepala Seksi Pemberdayaan Dispangtan Kota Bandung Sri Rezeki menyebutkan komoditi pangan memang mayoritas didatangkan dari luar Bandung. Termasuk komoditi sayuran yang juga banyak dikonsumsi masyarakat Kota Bandung.
Sri mencontohkan di Kota Bandung kebutuhan cabai rawit yang kerap harganya melonjak mencapai 56,90 ton perminggu. Kemudian cabai merah 1,36 ton perminggu. Sementara sayuran hijau kebutuhan besar dari kangkung yang mencapai 175,84 ton perminggu, tomat rata-rata yakni 88,73 ton perminggu, serta bayam yakni 118,56 ton perminggu.
“Dengan urban farming jenis-jenis sayuran yang biasa dibeli bisa kita panen sendiri. Biasanya butuh waktu satu bulan kita bisa memanen,” kata Sri saat dihubungi, Ahad (8/9).
Ia mengatakan urban farming di masyarakat menjadi gerakan yang terus digalakan. Makin banyaknya masyarakat yang menanam kebutuhan pangan di lingkungannya, ketergantungan akan distribusi pangan dari luar daerah semakin berkurang.
“Paling kebutuhan pangan hanya untuk yang besar-besar seperti restoran atau katering. Kalau konsumsi rumah enak dengan urban farming bisa tinggal petik,” ujarnya.