REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyebut jika Undang-Undang (UU) KPK yang berlaku saat ini masih relevan dengan kondisi terkini. Dengan begitu, UU KPK tidak perlu direvisi.
"KPK terbuka saja dengan kritik, tapi ini masalah revisi itu perlu nggak, kalau nggak pas dengan konteks kekinian ya direvisi, tapi UU yang ada sekarang ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini," kata Abraham Samad di Jakarta, Sabtu (7/9).
Menurutnya, UU yang berlaku sekarang perlu tetap dibiarkan jika pemerintah dan legislatif benar-benar ingin menjaga kehormatan KPK. Namun, dia mengatakan, bukan berarti regulasi yang mengatur cara kerja KPK tidak bisa direvisi di kemudian hari jika memang sudah tidak relevan dengan kondisi dalam konteks kekinian.
"Karena UU ini bukan kitab suci jadi silahkan saja direvisi kalau memang sudah tidak sesuai," kata Samad.
Sanggahan itu dilontarkan Samad menyusul pernyataan anggota komisi III DPR RI Fraksi PKS M Nasir Djamil. Nasir mengatakan, UU KPK yang berlaku saat ini sudah berusia 17 tahun sehingga harus dievaluasi dan direvisi. Menurutnya, revisi itu dilakukan agar pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK bisa lebih maksimal.
Dia menganggap wajar jika setiap perubahan pasti akan menuai pro dan kontra atau bahkan drama. Namun, dia meminta semua pihak untuk untuk berpikir jernih dan jangan berpikir revisi UU KPK itu melemahkan atau menguatkan.
"Jangan sampai orang-orang yang merevisi itu juga kemudian disebut ada upaya melemahkan. Tapi lebih baik kita berada di tengah jadi nggak dalam melemahkan atau menguatkan. Karena kalo terlalu kuat juga berbahaya," katanya.
Menurut Nasir, revisi dilakukan agar KPK tidak tumbuh terlalu kuat tanpa ada instrumen yang mengawasi kekuatan tersebut. Kekuatan tanpa pengawasan itu ditakutkan akan menjadi kekuasaan yang semena-mena.
DP telah sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK.
Poin-poin pokok itu antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.