Sabtu 07 Sep 2019 05:00 WIB

TII Duga Ada Pelemahan Sistematis Terhadap KPK

TII mendesak Presiden Jokowi untuk menolak membahas revisi UU KPK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah pegawai KPK melakukan aksi unjuk rasa di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pegawai KPK melakukan aksi unjuk rasa di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) mencurigai motif DPR  dalam  mengesahkan usulan Badan Legislatif DPR untuk revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). TII mencurigai ada upaya pelemahan kelembagaan KPK secara sistematis

Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres).

Baca Juga

"Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK ini dan sudah sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan Presiden ke DPR," tegas Dadang dalam pesan singkatnya, Jumat (6/9).

Menurutnya, situasi ini semakin krusial mengingat sejak ditundanya pembahasan revisi UU KPK pada 2016 silam, pemerintah tidak melakukan kajian evaluasi yang komprehensif terhadap RUU KPK dan tidak  ada sosialisasi ke masyarakat. Selain itu, TII mendesak DPR untuk segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati. 

Karena, poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK saat ini. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK, yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia.

Lebih lanjut ia menerangkan, setidaknya, disepakati empat poin revisi yang mengatur perubahan kedudukan dan kewenangan KPK dalam revisi UU KK. Yakni, adanya peran Dewan Pengawas KPK, diatur dalam Pasal 12, untuk mengawasi tugas dan wewenang lembaga itu serta memberikan persetujuan untuk penyadapan.

Selain itu, KPK diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3), jika kasus tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.

Lalu, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum ditempatkan sebagai cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Kemudian pegawai KPK, menurut Pasal 1 ayat 7 RUU KPK, berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk sesuai peraturan perundang-undangan. Selain itu, rekrutmen penyelidik, serta penyidik diisyaratkan Pasal 43, harus berasal dari institusi tertentu dengan sistem sesuai lembaga tersebut.

"Revisi UU KPK menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dan badan legislatif untuk menjadikan lembaga antikorupsi independen. Hal serupa terjadi di negara lain," kata Dadang.

Dadang melanjutkan, TII mencatat, sebagian besar dari 40 lembaga antikorupsi di Asia Pasifik termasuk KPK, terhambat karena kendala independensi, kelembagaan yang lemah, dan mandat terbatas. Berbagai upaya mengganggu independensi KPK masih terus dilakukan, termasuk, dalam pemilihan pimpinan KPK jilid V yang saat ini melibatkan berbagai masalah dalam prosesnya.

TII mengingatkan, Paasal 6 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) sudah menegaskan bahwa lembaga antikorupsi harus dilengkapi dengan independensi yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan “bebas dari pengaruh yang tidak semestinya” serta sumber daya material, staf, dan pelatihan yang memadai.

Syarat ini seharusnya dilaksanakan, mengingat Indonesia telah menjadi Negara Pihak pada UNCAC sejak ratifikasi pada 18 Desember 2003.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement